Halaman

Minggu, 06 April 2014

Ironi Kampanye Anarki

Alhamdulillah, hari ini sudah memasuki hari tenang kampanye menuju Pileg 9 April besok. Tulisan ini pun hadir begitu leluasa tanpa ada gangguan lengkingan suara knalpot para simpatisan partai yang tak berpendidikan di kota pendidikan ini.

“ Pemilihan umum telah memanggil kita, kita semua menyambut gembira. Kita ? Lu aja kali “. Itulah salah  satu bit stand up dari Dodit Mulyanto, kontestan SUCI 4 Kompas TV. Bit tersebut begitu menyentil karena pada realitanya tidak semua rakyat Indonesia yang riang gembira menyambut Pemilu ini. Tentu saja jika kita menengok proses kampanye selama beberapa hari ini. Kampanye konvoi kendaraan  yang seharusnya mampu menarik simpati dari para pemilih malah menimbulkan antipati. Lengkingan keras kendaraan para simpatisan partai kala kampanye pun sejalan dengan banyaknya kecaman para masyarakat baik lewat ucapan maupun media sosial.

Kampanye konvoi seperti ini bukan hanya berpotensi merusak pendengaran, disamping itu juga sering mengakibatkan kemacetan ketika melewati pusat kota Jogjakarta dan mengacaukan alur perjalanan saat melewati traffic light (bangjo) . Para simpatisan ini pun tak menggunakan helm dan mayoritas berboncengan tiga orang diatas satu motor (cabe-cabean), hal ini kan sudah melanggar lalu lintas. Lalu dimanakah para polisi satlantas ? , apakah harus ada dulu, jatuhnya korban kecelakaan hingga tewas seperti beberapa hari kemarin saat kampanye Partai kubu merah nasionalis, untuk menggerakan para pak polisi.

Puncaknya, hari sabtu kemarin (5/4 2014) di akhir rangkaian kampanye terbuka Pileg, terjadi aksi saling serang antar dua massa kampanye antara PDIP yang diserang oleh PPP di daerah perempatan Ngabean,  karena kubu simpatisan PDIP sudah lari tunggang langgang, yang menjadi korban salah sasar amuk massa PPP malah seorang pengantar bakpia .

Sungguh memalukan insiden diatas, seharusnya pesta demokrasi seperti ini dinikmati dengan suka cita bukannya di kaluti dengan berduka cita. Dalam konteks ini saya menuding para caleglah sumber dari kampanye model barbar ini, karena tak adanya pendidikan politik yang memadai dari mereka untuk para simpatisan. Tidak diajarkannya kedewasaan dalam berdemokrasi, berkampanye yang fair dan tidak meresahkan itu seperti apa. Alhasil, dari sini banyak kalangan yang berasumsi bahwa “ekor mencerminkan kepala” begitu juga “bagaimana mau mengurus negara jika mengurus simpatisannya saja tak becus” . Sebab para caleg dalam kasus ini hanyalah kaum karbitan yang tak berintelektual, mereka hanya mengandalkan kekuatan uang untuk kemenangan mereka. Akan tetapi, masyarakat saat ini makin cerdas dalam memilih wakil rakyat yang pantas dan tak pantas untuk dipilih, bisa disimpulkan dari kampanye sebuah partai peserta pemilu .

Padahal, banyak sekali alternatif cara berkampanye yang santun dan kreatif untuk menarik dukungan masyarakat. Ada yang menggunakan jasa SPG (sales promotoin girl) untuk marketing politiknya, lewat pengajian, atau membuka dialog dengan mahasiswa. Untuk cara yang terakhir, hanya segelintir caleg yang berani melakukannya, seperti yang saya ungkap tadi bahwa mindset karbitan mereka seperti ini “ buat apa saya harus ngomong sampe berbusa – busa di depan mahasiswa, jika dengan memberi uang kepada warga saja, saya sudah bisa menang “.

Akhirul kalam, harapan saya tentunya penanaman pendidikan poltik sejak usia dini dan kepada seluruh lapisan masyarakat, tak hanya ketika musim pemilu saja. Untuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kabinet baru nantinya, saya tekankan untuk membuat dan memasukan pendidikan politik kedalam kurikulum SD, SMP, SMA juga Universitas. Regulasi dan sanksi yang tegas juga sangat dibutuhkan saat musim pemilu dari Bawaslu juga Kepolisian terhadap tukang kampanye anarki. Jika hal ini terwujud, harmoni demokrasi tentu akan selalu berlaga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita semua kawan :)

                                                                                                                                        Ahad 6/4 2014

1 komentar: