(Jumat, 19
Desember 2014) Ketjilbergerak sukses
mengadakan kelas melamun, berlokasi di Plasa Ngasem Jogja, hasil kolaborasi
dengan panitia even Delayota Art 2014 gaweannya anak-anak SMA 8 Jogja, jadi
kelas melamun ini bagian rangkaian acara
dari even yang berlangsung tanggal 17 hingga 20 Desember 2014.
Mula-mula saya mau kenalin ke kalian yang belum tau apa
itu ketjilbergerak dan kelas melamunnya. Menurut hasil stalk saya di situs
mereka, ketjilbergerak adalah komunitas anak muda yang berkomitmen pada
kerja-kerja budaya yang bersifat kolaboratif. Untuk maksud dari namanya, sangat
sederhana saja, lebih baik kecil asal bergerak daripada besar tapi lumpuh.
Sedangkan kelas melamun, dari obrolan mini saya dengan
seorang kru ketjilbergerak, baginya kelas melamun adalah alternatif di saat
acara-acara seminar, workshop maupun diskusi terkesan membosankan. Kelas ini
hampir mirip dengan talk show, kekuatannya ada pada konsep yang asik, pemilihan
pembicara yang pas dengan anak muda, dan lokasinya yang santai. Itu sudah
terlihat dari namanya saja, sangat nyentrik juga hipster bukan ?. Lalu kenapa harus
kelas melamun ?, nah ini yang membuat banyak orang bertanya, termasuk saya. Banyak yang beranggapan saat
mengikuti kelas ini, kita bakal mendengar pembicara sambil melamun haha. Ya itu
bisa saja terjadi, kalau memang saudara itu jomblowan durasi sewindu, yang
memimpikan berpacar Raisa. Oke kembali ke jalan lurus, niat mulianya si ketjilbergerak
sih biar beda trus orang pada kepo, lalu melamun kemudian terhalusinasi hingga
akhirnya berada pada deretan peserta sidang kelas melamun yang dirahmati oleh
Tuhan YME.
Perlu diketahui bahwa kata melamun sendiri memiliki
banyak artian, yang sudah umum itu melamun (daydreaming),
dimana seseorang diam termenung dalam khayalan visual. Adapun yang dipakai oleh ketjilbergerak yakni
melamun dalam artian menumpuk. So,
kelas melamun adalah kelas untuk menumpuk pengetahuan, wawasan, pengalaman dan
kawan baru. Kesan pertama kali mengikuti kelas ini, menurut saya ini cerminan
kegiatan anak muda yang tak hanya menang di seremonialnya saja, pun esensi juga
bisa didulang.
Kelas melamun kini sudah memasuki edisi ke 12, kali ini
mengusung tema “Berbeda itu biasa”, acara dimulai pukul 4 sore, para peserta
diberikan stiker ketjilbergerak dan Majalah Rolling Stone berkover Jogja
Hip-Hop Foundation dan ini special collectors edition, saya pun merasa sebagai
golongan kaum beruntung saat itu. Diisi oleh dua pembicara lintas generasi asal
Jogja, Rama Sindhunata dan Marzuki “Kill the DJ” Mohamad, ditemani oleh MC
kocak Alit-Alit Jabang Bayi. Rama Sindhunata mewakili kubu tua, beliau sendiri
adalah mantan wartawan dan kolomnis harian Kompas, juga seorang penyair, namun
lebih dikenal sebagai novelis, novelnya yang terkenal adalah "Anak Bajang Menggiring Angin"
(1983,
Gramedia). Saat ini beliau lebih intens sebagai Imam Katolik.
Sedangkan Juki “Kill the DJ”, saya pikir anak muda Jogja
sudah banyak mengenalnya, karena ia salah satu pentolan band hip-hop, Jogja
Hip-hop foundation. Baik Rama Sindhu
maupun Juki “Kill the DJ” keduanya telah saling kenal meskipun berbeda generasi,
hubungan mereka bisa dikatakan sebuah persahabatan. Awalnya karena Zuki “Kill
the DJ” saat belia sangat mengagumi Rama Sindhu sebagai kolomnis bola di
Kompas, lalu mulai menyukai puisi-puisi karya beliau. Terang saja bukti hubungan
mereka, terlihat saat beberapa puisi Rama Sindhu disulap menjadi tembang oleh
Jogja Hip-Hop Foundation, contohnya Ora Cucul Ora Ngebul", "Rep
Kedhep", "Ngelmu Pring"
(oleh Rotra) dan "Cintamu
Sepahit Topi Miring" (oleh Jahanam).
Berbicara tentang berbeda itu biasa, menurut Rama
Sindhunata sebuah perbedaan itu akan lebur ketika berada dalam zona
persahabatan, jadi tidak perlu lagi membahas bhineka maupun pluralisme. Ketika
sudah terikat tali persahabatan, tak usah lagi menyatakan perbedaan.
Aristoteles pernah berujar bahwa persahabatan ialah satu jiwa dalam 2 jasad.
Beliau juga melihat fenomena perbedaan di Indonesia, yang beliau khawatirkan
ialah politik bisa merubah perbedaan yang biasa menjadi tak biasa. Itu bisa
dilihat ketika Pemilu 2014 lalu, yang disinggung kebanyakan masalah agama, lantas
berpotensi memecah belah bangsa. Ini tampak lucu, sebab jika isu agama selalu
dipersoalkan, tentunya Indoesia tidak akan merdeka pada 1945 silam, kalaupun
merdeka pasti sudah hancur setelahnya.
Berbeda dengan Rama Sindhu, Juki “kill the DJ” lebih
menyoroti perbedaan pada anak muda. Kaum muda dewasa ini memiliki hobi dan
passion yang beragam, lalu dibentuk komunitas untuk mewadahi tiap-tiap
kegemaran mereka, diantaranya ada Komunitas Puisi, Hip-hop, stand up comedy dan
masih banyak lagi. Dalam realitanya para komunitas ini sering mengadakan even,
pesertanya dari mereka, penontonnya juga, yang menikmati dan tepuk tangan pun
mereka, ini ibarat onani massal. Seharusnya tiap komunitas yang berbeda tadi
berkumpul dan mengadakan satu even bersama untuk mengekspresikan jiwa mudanya,
karena bahasa ekspresi adalah jembatan pemersatu perbedaan. Dari situ juga,
para komunitas akan lebih open mind, berjiwa besar, memperkaya lahir, batin dan
jiwa. Bagi Juki “kill the dj” juga,
perbedaan itu untuk saling mengenal. Kini masyarakat terlalu sibuk dengan
urusan mereka masing-masing, sehingga minim waktu untuk bersosialisasi, namun
sudah bejibun hadir media dan jejaring sosial untuk memudahkan komunikasi dalam
memaknai perbedaan.
Selain membahas berbeda itu biasa, Juki juga sedikit
menceritakan perjalanan awal terbentuknya Jogja Hip-hop foundation hingga mampu
go international dan bisa survive sampai sekarang. Hal ini karena
bangsa Indonesia sejak nenek moyang kita, memiliki semangat tidak menerima
mentah-mentah apa yang muncul ke permukaan. Misal sekarang kita bagian dari
masyarakat global, hip-hop itu produk global asalnya dari AS, walaupun begitu
Jogja Hip-Hop Foundation mengisi hip-hop dengan akar kebudayaan Indonesia.
Sekitar 1 jam berlangsung, wahana kelas melamun diguyur hujan deras,
kebetulan saat itu hanya beratapkan tenda mantenan, alhasil dialognya di pending sementara waktu. Sebagai
gantinya diisi hiburan dari grup hip-hop
TG Crew dari kampung Tegal Gendu, grup ini kumpulan anak-anak sepantaran
personil Coboy Junior. Membawakan lagu cintamu sepahit topi miring milik JHF.
Selang berapa lama, hujan pun mulai mereda, acara di
lanjutkan pada sesi tanya jawab yang kemudian diakhiri dengan closing statement dari kedua pembicara.
Rama Sindhunata berujar tetap jaga ikatan persahabatan agar mampu menghargai
perbedaan dan jadilah manusia yang makin global lantas makin lokal. Dari Juki “kill
the dj”, ia berasumsi bahwa ketika kita menyalahkan sesuatu, misal pasar
mainstream musik Indonesia, tentu kita harus bertanggung jawab dengan memberi penetrasi
dan alternatif yang lebih menarik. Sekian, tetap anggap berbeda itu biasa, dan sampai
jumpa di kelas melamun part
selanjutnya .