Halaman

Selasa, 30 Desember 2014

Indonesia Dalam Tawa

Bagaimana kabar kalian ?, para pecandu canda . Kalo kita ngomongin Indonesia, biasa membahas yang namanya nasionalisme. Saya ini orang Indonesia Timur, banyak yang bilang kalo kita ini tidak nasionalis. Yap tepat, karena kita makanan pokoknya sagu, kita ini “Saguonalisme” haha, hidup diversifikasi pangan, tolak sentralisasi !! 

Ada pula yang sering meledek kalo orang timur itu mukanya tua-tua, saya salah satu korbannya. Kalo saya sih selo aja menanggapi, ini hanya persoalan pembagian wilayah waktu saja antara WIT, WITA dan WIB. Jadi ya misal saya dan teman saya yang dari Jawa tanggal lahirnya sama. Tetap saja saya yang kakak, karena saya WIT, muka saya lebih tua 2 Jam. :D

Kadang pun saya merespon dengan sebuah petuah bijak yang bunyinya seperti ini, “Meski bermuka tua, asalkan tidak bermuka dua. Kan repot kalo bermuka dua, misal saat facial (perawatan wajah), diakhir saya bakal bayar  double.

Bagi saya, sosok nasionalis adalah para pahlawan di era penjajahan silam, mereka merebut kemerdekaan bangsa tidak semudah bak membalik kedua telapak tangan, pun tak se ajaib seperti sulapan “sim salabim, jadi apa semuanya ? prok..prok..prok. Eits salah, harusnya jadi apa .. PROKLAMASI, haha maaf sedikit memaksa.

Dari fakta diatas, sejarah mencatat bahwa orang pertama yang menemukan istilah “Prok” adalah Bung Karno bukan Pak Tarno. Asedap asek gesrek.

Cuap-cuap soal proklamasi, ada satu hal mengganjal pikiran saya, yaitu foto saat pembacaan teks proklamasi oleh Bung Karno. Menurut saya itu terlalu tegang dan formal sekali, fotonya pun hanya satu itu saja. Mungkin karena saat itu medio 45, penuh keterbatasan. Bayangkan saja jika masa itu sedang demam foto selfie, pastinya Soekarno membacakannya sambil selfie, pun dengan tomsis (tombak narsis) di tangannya, ini bermaksud untuk menyiasati bila ada penyusup Jepang datang, langsung ditombak terus diajak selfie. Heuheu.

69 tahun sudah Indonesia merdeka, sungguh angka yang menarik. Namun masih banyak sisi yang bagi saya belum sepenuhnya merdeka. Salah satunya sepakbola Indonesia. Itu terlihat dari fenomena transfer pemain Liga Indonesia. Kalo tengok di Eropa, tiap pemain saat konfrensi pers tentang kepindahannya ke klub baru, biasanya berujar klise seperti ini, “bergabung bersama Manchester United adalah impian masa kecil saya yang akhirnya terwujudkan”, ya pokoknya gitulah. Tapi kalau di Indonesia itu lain, omongannya seperti ini, “ Saya bangga bergabung bersama Persiwa Wates, karena dapat meningkatkan jiwa enterpreneur saya. Jika gaji saya telat dibayar, saya akan berjualan es oyen”. ;D

Indonesia dijuluki sebagai “Ibu Pertiwi”, karena keindahan alamnya, saya punya sebuah ungkapan untuk menggambarkannya, yakni “Surga di bawah telapak kaki Ibu Pertiwi”. Tapi kini Ibu pertiwi sudah berubah, yang katanya Indonesia itu tanah airku, sekarang apa saja semuanya serba berbayar. Saya kecewa lalu menggantinya dengan “Surga di bawah telapak kaki Ibu Kosan Pertiwi”. #TaraJelas (31 Desember 2014)

Sekian, salam ciamik asik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar