Alhamdulillah, hari ini sudah
memasuki hari tenang kampanye menuju Pileg 9 April besok. Tulisan ini pun hadir
begitu leluasa tanpa ada gangguan lengkingan suara knalpot para simpatisan
partai yang tak berpendidikan di kota pendidikan ini.
“ Pemilihan umum telah memanggil
kita, kita semua menyambut gembira. Kita ? Lu aja kali “. Itulah salah satu bit stand up dari Dodit Mulyanto, kontestan
SUCI 4 Kompas TV. Bit tersebut begitu menyentil karena pada realitanya tidak
semua rakyat Indonesia yang riang gembira menyambut Pemilu ini. Tentu saja jika
kita menengok proses kampanye selama beberapa hari ini. Kampanye konvoi
kendaraan yang seharusnya mampu menarik
simpati dari para pemilih malah menimbulkan antipati. Lengkingan keras
kendaraan para simpatisan partai kala kampanye pun sejalan dengan banyaknya
kecaman para masyarakat baik lewat ucapan maupun media sosial.
Kampanye konvoi seperti ini bukan
hanya berpotensi merusak pendengaran, disamping itu juga sering mengakibatkan
kemacetan ketika melewati pusat kota Jogjakarta dan mengacaukan alur perjalanan
saat melewati traffic light (bangjo) . Para simpatisan ini pun tak menggunakan helm
dan mayoritas berboncengan tiga orang diatas satu motor (cabe-cabean), hal ini
kan sudah melanggar lalu lintas. Lalu dimanakah para polisi satlantas ? ,
apakah harus ada dulu, jatuhnya korban kecelakaan hingga tewas seperti beberapa
hari kemarin saat kampanye Partai kubu merah nasionalis, untuk menggerakan para
pak polisi.
Puncaknya, hari sabtu kemarin
(5/4 2014) di akhir rangkaian kampanye terbuka Pileg, terjadi aksi saling serang
antar dua massa kampanye antara PDIP yang diserang oleh PPP di daerah perempatan
Ngabean, karena kubu simpatisan PDIP
sudah lari tunggang langgang, yang menjadi korban salah sasar amuk massa PPP
malah seorang pengantar bakpia .
Sungguh memalukan insiden diatas,
seharusnya pesta demokrasi seperti ini dinikmati dengan suka cita bukannya di
kaluti dengan berduka cita. Dalam konteks ini saya menuding para caleglah
sumber dari kampanye model barbar ini, karena tak adanya pendidikan politik
yang memadai dari mereka untuk para simpatisan. Tidak diajarkannya kedewasaan
dalam berdemokrasi, berkampanye yang fair dan tidak meresahkan itu seperti apa.
Alhasil, dari sini banyak kalangan yang berasumsi bahwa “ekor mencerminkan
kepala” begitu juga “bagaimana mau mengurus negara jika mengurus simpatisannya
saja tak becus” . Sebab para caleg dalam kasus ini hanyalah kaum karbitan yang
tak berintelektual, mereka hanya mengandalkan kekuatan uang untuk kemenangan
mereka. Akan tetapi, masyarakat saat ini makin cerdas dalam memilih wakil
rakyat yang pantas dan tak pantas untuk dipilih, bisa disimpulkan dari kampanye
sebuah partai peserta pemilu .
Padahal, banyak sekali alternatif
cara berkampanye yang santun dan kreatif untuk menarik dukungan masyarakat. Ada
yang menggunakan jasa SPG (sales promotoin girl) untuk marketing politiknya,
lewat pengajian, atau membuka dialog dengan mahasiswa. Untuk cara yang
terakhir, hanya segelintir caleg yang berani melakukannya, seperti yang saya
ungkap tadi bahwa mindset karbitan mereka seperti ini “ buat apa saya harus
ngomong sampe berbusa – busa di depan mahasiswa, jika dengan memberi uang
kepada warga saja, saya sudah bisa menang “.
Akhirul kalam, harapan saya
tentunya penanaman pendidikan poltik sejak usia dini dan kepada seluruh lapisan
masyarakat, tak hanya ketika musim pemilu saja. Untuk Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan kabinet baru nantinya, saya tekankan untuk membuat dan memasukan
pendidikan politik kedalam kurikulum SD, SMP, SMA juga Universitas. Regulasi
dan sanksi yang tegas juga sangat dibutuhkan saat musim pemilu dari Bawaslu
juga Kepolisian terhadap tukang kampanye anarki. Jika hal ini terwujud, harmoni
demokrasi tentu akan selalu berlaga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
kita semua kawan :)
Ahad 6/4 2014
kata sby: LANJUTKAN!!!
BalasHapus