Halaman

Jumat, 24 Juli 2015

HAKIKAT RIBA

A.  Latar Belakang
 
Riba merupakan permasalahan yang telah lama dibahas, tidak hanya oleh umat Islam, tapi juga umat-umat terdahulu. Sekitar 24 abad silam atau empat abad sebelum masehi, dua filsuf Yunani, Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) telah mengecam praktik riba. Menurut Plato, sistem riba telah menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat serta menjadi alat eksploitasi orang kaya terhadap orang-orang miskin. Sementara Aristoteles menyatakan bahwa uang adalah medium of change (media pertukaran), sehingga tidak diperkenankan memperanakkan uang. Pada masa Romawi, sekitar ke-V sebelum masehi hingga abad ke-IV Masehi, terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil riba hingga batas maksimum yang diperbolehkan. Praktik tersebut dikecam oleh dua filsuf Romawi, Cato (234-149 SM) dan Cicero (106-43 SM) .

Dua agama samawi, Yahudi dan Kristen juga melarang praktik ini. Dalam Kitab Perjanjian Lama dan undang-undang Talmud disebutkan dengan jelas larangan praktik riba bagi orang-orang Yahudi baik berupa uang maupun makanan. Sedangkan Kitab Perjanjian Baru milik Kristiani tidak menyebutkan permasalahan ini dengan jelas, sehingga muncul berbagai tanggapan dan tafsiran dari pemuka Kristen tentang boleh-tidaknya orang kristen mempraktikan pengambilan riba. Para pendeta Awal Kristen (abad I-XII) melarang praktik riba dengan merujuk kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga mereka imani. Pada abad XII-XVI, seiring dengan perkembangan ekonomi dan perdagangan, para sarjana Kristen membedakan antara interest dan usury. Interest diperbolehkan, sedangkan usury adalah riba yang berlebihan. Namun, setelah abad XVI, beberapa sarjana Kristen mendesak diperbolehkannya praktik riba.

Jadi, permasalahan riba adalah permasalahan klasik. Hal ini tidak lain karena adanya keuntungan yang cukup menggiurkan bagi para pengambil riba meski dengan mengeksploitasi kekayaan saudaranya. Pada saatini, sistem bunga telah menjadi sebuah sistem yang menglobal dan berakar kuat. Hampir seluruh negara di dunia mengadopsi sistem bunga. Sebagian ekonom meyakini bahwa bunga adalah kunci untuk menstabilkan perekonomian, namun sebagian lain justru menilai bahwa bunga adalah sumber instabilitas perekonomian.

B. Rumusan Masalah

Sejalan dengan latar belakang permasalahan yang sedikit dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah kajian sebagai berikut.

1. Pengertian Riba. Riba Nasi’ah dan Riba Fadhl
2. Mengapa riba dilarang ?
3. Pinjaman konsumsi dan pinjaman produksi.

Pembahasan

A.      Pengertian Riba. Riba Nasi’ah dan Riba Fadhl

Zuhaili menyebutkan bahwa makna riba secara bahasa adalah tambahan. Adapun maknanya menurut syara’ adalah suatu tambahan harta tertentu pada transaksi pertukaran harta dengan harta tanppa adanya ‘iwadh (padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut).

Berikut ini adalah definisi riba menurut beberapa ulama’ lainnya:

1.      Imam Sarkhasi (bermazhab Hanafi):
“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi jual beli tanpa adanya ‘iwadh.”

2.      Raghib Al-Asfahani:
“Riba secara bahasa adalah penambahan atas harta pokok”

3.      Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang riba beliau menjawab: Sesungguhnyariba itu adalah seseorang memiliki hutang lalu dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi ia harus menambah harta atas penambahan waktu yang diberikan.

4.      Ibnu Hajar Al-Haitsami
“Riba secara bahasa adalah tambahan, sedangkan menurut syara’ adalah suatu akad dengan ‘iwadh tertentu yang tidak diketahui padanannya menurut standar syara’ atau dengan penangguhan kedua hal yang dipertukarkan atau salah satunya”

Jenis Riba

Menurut Zuhaili, riba memilik dua macam: Riba Nasiah dan Riba Fadhl.

Riba Nasiah ialah suatu tambahan pada salah satu diantara dua ‘iwadh (yang dipertukarkan) yang disebabkan karena penundaan jatuh tempo pelunasan, atau penangguhan serah terima barang meski tanpa adanya tambahan. Riba ini terjadi pada transaksi utang-piutang dan jual-beli.

Sementara Riba Fadhl adalah dijualnya harta tertentu (emas, perak, gandum, syair (sejenis gandum), garam dan buah kurma dengan adanya tambahan pada salah satu ‘iwadh. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim disebutkan:

“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr (salah satu jenis gandum), sya’ir dengan sya’ir (salah satu jenis gandum juga), kurma dengan kurma, garam dengan garam, yang semisal (jenisnya), yang setara (takarannya), dari tangan ke tangan (secara cash), apabila berbeda jenisnya, maka jadilah terserah kalian apabila dilakukan secara langsung.”

Ibnu HajarAl Haitsami membagi riba ke dalam 3 macam: riba fadhl, riba yad, dan riba nasiah. Kemudian Mutawalli Sya’rawi  menambahkan jenis keempat, yakni riba qardh. Sedangkan Lajnah Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’ membaginya kedalam tiga kategori yang berbeda: riba fadhl, riba nasiah dan riba qardh.

Perbedaan pendapat ini hanyalah perbedaan sudut pandang dalam mengkaegorikan jenis riba. Adapun apa yang diungkap oleh Syafi’i Antonio bisa dijadikan rujukan , karena lebih sederhana dan lebih dimengerti. Ia menjelaskan ada 2 macam riba: Riba uatng-piutang dan riba jual beli. Macam pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Adapun macam kedua juga terbagi dua: riba fadhl dan riba nasiah.

·         Riba Qardh: Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang.

·         Riba Jahiliyah: Utang dibayar lebih lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.

·         Riba Fadhl: Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi (emas, perak, gandum, sya’ir, kurma dan garam).

Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa ‘illah tahrim (alasan pengharamn ), adalah karena keenam barang ini merupakan barang-barang pokok yang dibutuhkan oleh manusia. Emas dan perak merupakan unsur penting dari uang dan juga sebagai pengukur harga barang. Adapun empat empat lainnya merupakan makanan pokok yang menyokong kehidupan. Oleh karenanya, bila illah ini terdapat pada barang lainnya, maka ia termasuk dalam jenis riba ini.

·      Riba Nasiah: Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi  yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba Nasih dapat muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.

B.  Mengapa riba dilarang ?

1.      Tidak ada unsur keadilan

Menurut Islam, adil merupakan norma paling utama dalam seluruh aspek perekonomian. Hal itu dapat kita tangkap dalma pesan Al-Qur’an yang menjadikan adil sebagi tujuan agama samawi. Bahkan, adil adalah salah satu asma Allah. Kebalikan sifat adil adalah zalim, yaitu sifat yang dilarang Allah pada diri-Nya sebagaimana dilarang dalam firman-Nya pada hamba-Nya: “Wahai hamba-hamba-Ku, Aku melarang kezaliman pada diri-Ku dan Aku haramkan juga antara kamu, maka janganlah kamu saling menzalimi.”

Allah menyukai orang menyukai yang bersikap dan sangat memusuhi kezaliman, bahkan melaknatnya: “Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim” (QS al-Hud:18)

Oleh sebab itu, Islam mencegah bai’ul gharar karena ketidaktahuan terhadap kondisi suatu barang itu merugikan satu pihak dan bisa menimbulkan tindakan zalim.
Demikian pula, dilarang mengadakan muamalah yang di dalamnya terdapat unsur penipuan. Jika kadar penipuan itu tidak terlalu besar mungkin masih bisa dimaklumi, tetapi kalau sangat besar maka tidak bisa ditolerir. Demikian pula halnya dengan larangan terhadap bai’ul mudhtar (terpaksa). Menurut Imam Al Khitabi, bai’ul mudhtar adalah suatu keadaan ketika seseorang terpaksa menjual barang miliknya karena terhimpit utang atau tertimpa musibah yang harus segera diatasi. Sebenarnya, cara terbaik bagi sesorang untuk menyelesaikan utang bukanlah dengan menjual barang milikinya, tetapi yang bersangkutandipinjami uang untuk menjalankan usaha yang keuntungannya dibagi dua, atau utangnya ditutupi orang lain yang mampu.

Jika suatu jual beli terjadi karena alasan darurat seperti ini, hukumnya sah namun tercela menurut agama. Alasannya, di dalamnya terdapat unsur “mengambil kesempatan dari orang yang terpaksa menjual barang miliknya”, sebab membeli akan mendapatkan harga di bawah standar.

Di antara tanda keadilan adalah haramnya bermuamalah dengan riba. Al Qur’an mengisyaratkan bahwa Allah Swt dan arsul-Nya memerangi pelaku-pelakunya. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka bagimu pokok hartamu kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya” (QS al-Baqarah:279). Ayat ini membuktikan bahwa dasar pelarangan riba ialah terdapat unsur kezaliman pada kedua belah pihak. Maka dengan dihapuskannya riba, kezaliman itu hilang sebagaimana dinyatakan oleh ayat itu, “tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”.

Nabi saw. menilai riba termasuk dalam “tujuh mubiqat” yaitu membinasakan perorangan dan masyarakat, dunia dan akhirat. Nabi melaknat pemakan dan pemberi riba, penulis dan dua orang saksinya dengan berkata, “Mereka semuanya sama” dalam berbuat dosa, meskipun berbeda tingkat dosanya.

Riba dan prostitusi adalah dua penyakit masyrakat yang jika menyebar akan menimbulkan kemurkaan Allag.

“Jika prostitusi dan riba telah merajalela di suatu masyarakat maka mereka telah menghalalkan bagi diri mereka azab Allah azza wajalla.” (HR Thabrani dan Hakim).

Itu tidak lain karena riba adalah tindakan memakan harta orang lain tanpa jerih payah dan risiko, kemudahan yang diperoleh orang kaya di atas kesedihan orang miskin, serta merusak semangat manusia untuk bekerja mencari uang.

Para ahli ekonomi kontemporer banyak membahas tentang riba dan bahayanya bagi kehidupan masyarakat, baik dalam segi kemasyarakatn, ekonomi, dan politik. Sebagian dari mereka berkata, “Masyarakat kita akan berjalan pada porosnya jika mereka bisa menurunkan nilai riba sampai kepada derajat nol persen.” Demikin pula pendapat ekonom Inggris, Lord Kent.

2.      Mengurangi Hak Manusia

Nabi Syuaib juga memperingatkan mereka agar tidak mengurangi hak manusia. Ini merupakan salah satu cacat pasar, yang timbul karena sifat egois dan diliputi oleh perbaikan kezaliman.

“Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syuaib, ia berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat). ‘ Dan Syuaib berkata, ‘Hai, kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. ‘”(Hud: 84-85)

Dalam ayat ini, ditegaskan bahwa merugikan hak manusia termasuk jenis perbuatan yang merusak bumi. Imam Al Qurthubi mengatakan bahwa dilarang merugikan orang lain. Tindakan yang merugikan diantaranya dengan membuat cacat barang dagangan, memanipulasi nilai sebenarnya, atau mengurangi timbangannya. Semua ini termasuk jenis memakan harta manusia dengan cara yang batil dan dilarang dalam masyarakat modern dan masyarakat lalu melalui ucapan para rasul.

3.      Bukan termasuk jual-beli

Gambaran kondisi para pelaku riba yang berdiri seperti berdirinya orang gila, disebabkan oleh anggapan dan pernyataan mereka bahwa praktik riba adalah sama halnya dengan jual beli. Hal ini disinggung oleh Allah dalam firman-Nya:

... “Adalah disebabkn mereka berkata (berpendapat), sesungguhnyajual beli itu sama dengan riba.” (QS al Baqarah: 275)

Padahal keduanya (riba dan jual beli) adalah dua hal yang sangat berbeda sebagaimana yang terkandung dalam firman-Nya. “Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengahramkan riba” (QS al Baqarah: 275) . Ibnu Katsir menerangkan bahwa firman ini merupakan pengingkaran atas apa yang mereka sangkakan (jual beli sama dengan riba), sedangkan Allah SWT adalah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui segala yang bermanfaat bagi hamba-Nya pasti diperbolehkan, sedangkan yang berbahaya bagi hamba-Nya pasti dilarang.

Al-Qurthubi menjelaskan bahwa orang Arab kala itu menganggap bahwa tambahan setelah melewati jatuh tempo adalah sama halnya dengan penentuan harga di awal akad (padajual beli). Ketika utang seseorang telah jatuh tempo, maka akan dikatakan kepadanya: “Apakah akan melunasi ataukah memberikan tambahan pada pokok utang (karena menangguhkan pelunasan)?” Oleh karenanya Allah SWT mengaharamkan praktik tersebut melalui firman-Nya:“dan telah dihalalkan oleh Allah kegiatan jual-beli dan mengharamkan riba” (QS al Baqarah: 275)

Ar-Razi menjelaskan bahwa Ibnu Abbas hanya mengharamkan jenis riba nasiah. Menurutnya, riba adalah suatu ungkapan dari adanya tambahan, sedangkan tidak semua tambahan adalah riba. Adapun firman Allah hanya meliputi akad tertentu yang mereka kenal sebagai riba, yakni riba nasiah. Ia merujuk kepada hadits nabi: “Tidak ada riba kecuali dalam nasiah”

Namun, jumhur ulama bersepakat atas pengharaman segala jenis riba (riba nasiah dan riba naqd/fadhl). Riba nasiah adalah diharamkan oleh Al-Qur’an sedangkan pelarangan riba naqd/fadhl bersumber dari hadits nabi yang menjelaskna larangan riba naqd/fadhl pada enam barang ribawi sebagaimana telah disebutkan di atas. Imam Malik dalam al-Muwaththa’ memberikan penjelasan bahwasannya itu adalah pendapat Ibnu Abbas pertama kali. Akan tetapi ia mengoreksi pendapatnya setelah mendapati berbagai riwayat hadits-hadits shahih yang menyatakan keharaman riba fadhl sebagaimana dikupas oleh Al-hazimi dalam bukunya Kitab an-Nasikh wa al-Mansukh.

Al-Alusi menegaskan bahwa seseorang yang menjual  bajunya seharga 1 dirham dengan harga 2 dirham adalah suatu hal yang dibenarkan, karena harga tersebut ditukar dengan baju (barang). Adapun jika ia menjual satu dirham dengan tambahan dirham tanpa adanya ‘iwadh, maka hal tersebut diharamkan.

Abu Ja’far berkata: Allah menghalalkan keuntungan dalam perdagangan dan jual beli, serta mengharamkan riba, yakni adanya tambahan yang dikarenakan penundaan pelunasan utang setelah jatuh tempo. Meskipun keduanya (jual beli dan utang) menghendaki adanya  tambahan pada jual beli dan tidak pada utang-piutang. Hal tersebut adalah urusan Allah. Dia berbuat sesuai apa yang Ia kehendaki. Oleh karenanya, kita dituntut untuk taat dan tidak menentang perkara ini.

Zuhaili menerangkan bahwa tindakan mereka (orang Arab) yang mengqiyaskan tambahan ribawi setelah jatuh tempo dengan penentuan harga pada jual beli adalah suatu qiyas fasid, karena mengqiyaskan sesuatu yang berbeda. Pada jual beli terdapat pengganti barang yang dibutuhkan atas tambahan yang diberikan, sedangkan riba diberikan karena terpaksa dengan tidak ada iwadh.

Abu al-A’la al-Maududi dalam The Meaning of the Qur’an menjelaskan empat perbedaan mendasar antara perdangan (jual-beli) dan riba:

1.      Dalam perdagangan, pembeli dan penjual melakukan pertukaran secara adil. Pembeli mendapatkan keuntungan daari barang yang dibelinya, sedangkan penjual mendapatkan imbalan atas tenaga dan waktu yang dikerahkan untuk memproduksinya atau menjualnya. Sementara dalam riba, tidak ada pembagian keuntungan secara adil. Kreditur mendapatkan sejumlah uang tambahan dari pinjamannya, sedangkan debitur mendapatkan waktu untuk menggunakan uang tersebut, padahal waktu tidak memberikan keuntungan pasti.

2.      Dalam perdagangan, betapapun besarnya keuntungan yang diraih oleh penjual dia hanya mendapatkannya sekali saja. Sementara kreditur tidak akan berhenti untuk meminta bunga pinjamannya selama belum dilunasi.
3.       Dalam perdagangan, pada saat barang ditukar dengan harganya maka transaksi tersebut telah selesai. Pembeli tidak membayar lebih setelah transaksi. Dalam transaksi sewa-menyewa, baik rumah, tanah atau barang lainnya, penyewa akan mengembalikan barang sewaannya setelah selesai masa sewanya, ia tidak membayar lebih setelahnya. Dalam praktik riba, debitur menggunakan sejumlah uang yang dipinjamnya dan harus mengembalikan dengan jumlah yang sama dengan tambahan bunga.

4.      Dalam perdagangan, penjual mendapatkan keuntungan dari jerih payah tenaganya atau keahlian yang dimilikinya. Dalam transaksi riba, kreditur mendapatkan keuntungan tanpa usaha dan kerja keras.

4. Menimbulkan banyak kemudharatan dalam perekonomian

Adalah suatu hal yang harus diyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah Swt tidaklah sekali-kali melarang sesuatu kecuali ada madharat di dalamnya. Segala apa yang Allah perintahkan dan larang pasti mengundang hikmah. Sesungguhnya perintah Allah untuk meninggalkan dan menjauhi riba tidaklah untuk memberatkan manusia atau justru merugikan manusia. Sebagaimana firman-Nya:

“Kami tidak menurunkan Al-Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah” (Qs. Thaha: 2)
Qatadah menjelaskan bahwa Allah Swt tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai hal yang menyusahkan, akan tetapi sebagai rahmat, cahaya dan petunjuk ke surga.

Sesungguhnya praktik bunga telah memberikan dampak yang terhadap kehidupan manusia. Maududi menerangkan bahwa riba dapat memberikan madharat dari segi moral, dari segi peradaban dan sosial, dan dari segi ekonomi. Namun, tulisan ini hanya membahas dampak yang ditimbulkan oleh riba dari segi ekonomi. Ada beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh riba, diantaranya:
1.      Eksploitasi kekayaan peminjam (debitur)

Bunga telah menjadi alat eksploitatif yang menguras kekayaan si peminjam. Ketidakberdayaan, kesempitan dan kesulitan yang dihadapi oleh peminjam telah dijadikan sebagai objek untuk mencari keuntungan dan kepentingan orang-orang kaya. Di berbagai pasar, dapat kita temukan para rentenir yang sedang menagih piutangnya dengan bunga yang cukup tinggi. Para pedagang di pasar tak punya pilihan lain selain harus meminjam dari mereka untuk tetap dapat berdagang . Tak heran, para rentenir sering diistilahkan dengan lintah darat yang suka menghisap kekayaan orang lain.

Dalam tataran makro, negara Indonesia adalah salah satu korban dari pinjaman berbunga dari berbagai lembaga Keuangan Internasional, terutama IMF (International Monetary Fund). Menurut World Development Report 2000/2001, Indonesia adalah negara keenam yang terjerat dalam utang pada tahun 1998 (lihat tabel 1)

Tabel 1. Menunjukan bahwa kondisi ULN Indonesia setara dengan sejumlah negara Afrika. Akibatnya, Indonesia tidak bisa mengelak untuk membayar bunganya. Baswir (2002) mengungkapkan bahwa dari total APBN 2001 sebesar Rp 340 triliun, Rp23,8 triliun digunakan untuk membayar bunga utang luar negeri. Jika ditambah dengan bunga utang luar negeri sebesar Rp 61,2 triliun, maka 26,32 persen APBN 2001 habis terpakai untuk membayar bungaULN mencapai Rp 27,4 triliun. Bila ditambah dengan bunga utang dalam negeri sebesar Rp 59,6 triliun, volume APBN 2002 yang dipakai untuk membayar bunga utang  mencapai 26,17 persen.







Tabel 1. Sepuluh Negara yang terjerat Utang 1998


No


Negara



Utang LN
ULN/Kapita


Nilai Kini ULN thd PDB (%)
1990
1998
1998
(US$ billions)
(US$)
1
Kongo
4.9
5
1,630
280
2
Angola
8.5
12.1
1,000
279
3
Nikaragua
10.7
5.9
1,200
262
4
Kongo Dem
10.2
12.9
260
196
5
Zambia
6.9
6.8
680
181
6
Indonesia
69.8
150
750
169
7
Mauritania
2
2.6
800
148
8
Ethiopia
8.6
10.3
165
135
9
Siere Leone
1.1
1.2
240
126
10
Cote d’Ivore

17.2

14.8
1,000
122
Sumber: World Developmnet Report 2000/2001 (diolaj dari Revrisond Baswir)

Pembayaran utang yang lebih dari seperampat volume APBN itu berdampak pada membengkaknya defisit anggaran negara. Sebagaimana tampak dalam APBN 2001, defisit anggaran tercatat sebesar Rp 54,3 triliun. Tindakan yang dilakukan pemerintah untuk menutup defisit anggaran negara itu antara lain adalah dengan menggenjot penerimaan pajak , menjdawalkan dan membuat utang luar negeri baru, mengurangi subsidi, menjual aset perusahaan swasta yang dikuasai  Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), dan melakukan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Meski demikian, pemerintah masih kurang mempedulikan hal ini dimana ULN Indonesia (pemerintah dan swasta) mencapai US$ 172.871 Juta per Desember 2009 walaupun telah terjadi penurunan dalam rasionya terhadap PDB, yakni 31,5%.

Sebenarnya negara manakah yang sedang kesusahan menginginkan untuk membayar bunga, bahkan negara besar seperti Inggris sekalipun. Setelah perang dunia ke dua, Inggris mengalami kerugian yang besar. Oleh karenanya, ia meminta bantuan kredit tanpa bunga kepada Amerika. Tetapi Amerika enggan dan menolak untuk memberi kredit tanpa bunga. Hal ini tentunya menimbulkan kerenggangan antar kedua negara tersebut.

2.       Monopoli sumber Dana
Siregar (2001) telah memberi penjelasan tentang dampak dari adanya suku bunga terhadap ketidakstabilan ekonomi. Menurutnya dengan adanya ketentuan suku bunga, maka pinjaman pada perbankan akan memerlukan kepastian pengambilan. Oleh karenanya, lending perbankan hanya akan diberikan kepada peminjam yang memiliki jaminan kredit guna meng-cover pinjaman tersebut dan kecukupan cash flow untuk memenuhi kewajibannya. Akibatnya, dana bank hanya akan mengalir kepada golongan kaya saja, sedangkan golongan miskin sangat susah untuk memperoleh bagian pinjaman kredit perbankan.

3.      Mis-alokasi dana

Fakta selanjutnya menunjukan bahwa golongan kaya yang memperoleh kredit tersebut umumnya memanfaatkan dana tersebut tidak hanya untuk investasi yang produktif saja, tetapi juga untuk keperluan yang non produktif, seperti untuk conspicus consumption (konsumsi barang mewah, yang hanya berguna untuk simbol status sosial), pengeluaran yang tidak bermanfaat, termasuk juga untuk keperluan spekulasi. Hal inilah yang akan menyebabkan terjadinya ekspansi money demand yang cepat, hanya untuk keperluan konsumsi yang non-produktif dan tidak bermanfaat (Siregar, 2001)

4.      Menghambat Tingkat Produktivitas Masyarakat

Zuhaili menegaskan bahwa riba dapat membiasakan manusia untuk mencari rezeki tanpa bekerja, seperti perdagangan, pertanian, atau mata pencaharian lainnya. Sesungguhnya para pelaku riba menyandarkan hidupnya dan pemasukannya dari sumber pendapatan yang tidak membutuhkan kerja keras, yakni hanya menunggu bunga dari uang yang disimpannyadi perbankan.

Di lain sisi, para pengusaha kecil yang membutuhkan modal usaha merasa terbebani dengan beban bunga yang harus mereka bayar jika mengambil pinjaman. Akibatnya sebagian dari mereka menahan diri untuk mengembangkan usahanya sedikit demi sedikit dan sebagian yang lain terpaksa harus mengambilnya dengan risiko berkurangnya keuntungan atau semakin tercekik tatkala usaha yang digelutinya merugi. Kedua hal ini tentunya dapat menghambat tingkat produktivitas masyrakat. Monopoli sumber dana dan misalokasi dana juga dapat menghambat tingkat produktivitas.

5.      Kesenjangan yang makin melebar antara orang kaya dan miskin.

Eksploitasi dan monopoli sumber dana telah mengakibatkan orang kaya dan orang miskin semakin miskin.

6.      Mendorong inflasi

Selama ini bunga diyakini sebagai alat yang efektif untuk mengendalikan inflasi.Tatkala inflasi meningkat, pemerintah akan mempergunakan kebijakan tight money policy, yakni dengan meningkatkan suku bunga guna menyerap uang yang berlebih di masyrakat. Selain itu, pemerintah juga memperketat belanja negara. Dengan demikian, inflasi dapat kembali dikendalikan.Beberapa penelitian menunjukan bahwa suku bunga justru menjadi faktor utama yang menyebabkan inflasi:

Setiawan (2007) dalam penelitiannya yang berjudul” Analisis Faktor Dominan Penyebab Inflasi di Indonesia dan Beberapa Penyelesaiannya menurut Ekonomi Islam”, menguji hubungi antara variabel ekonomi yang diperkirakan berpengaruh terhadap inflasi, yakni jumlah uang beredar (Ms), nilai tukar rupiah terhadap dolar, harga minyak dunia, sertifikat bank Indonesia (SBI) dan suku bunga Federal Reserve. Hasil pengujian menunjukan, equilibrium antar variabel tersebut dapat terjadi dalam jangka panjang. Sedangkan sejak pertengahan periode hingga akhir, pengaruh suku bunga, mekanisme profit and loss sharing, pelaksanaan fungsi hibah dan penggunaan uang emas dan perak merupakan beberapa cara untuk menyelesaikan permasalahan inflasi di Indonesia.

Rusdiana(2008) meneliti faktor-faktor yang menjadi determinan inflasi di Indonesia menggunakan metode Vector Error Correction Model (VECM). Hasil pengujian menunjukan bahwa suku bunga berpengaruh positif dan menjadi kontributor inflasi paling dominan dibanding dengan variabel lain, baik dalam model Islam (13%) maupun dalam model mixed (39%). Oleh karena itu, ia menyarankan pengkajian kembali keberadaan institusi bunga di dalam perekonomian, apakah bermanfaat bagi kestabilan moneter Indonesia atau malah sebaliknya. Apakah bermanfaat sebagai obat penyembuh ampuh, ataukah malah menjadi virus potensial yang dapat menyebabkan ‘sakit moneter’ yang lebih akut.

Adiwarman Karim mengungkapkan bahwa instrumen bunga dapat meningkatkan costof production. Bunga merupakan fixed cost yang harus dibayar oleh perusahaan. Akibatnya, biaya meningkat  dan mendorong perusahaan utnuk menaikkan harga penjualan, sehingga sedikit banyaknya turut mempengaruhi inflasi. Inilah yang disebut dengan cost push inflation. Secara sederhana cost push inflation tersebut dapat dijelaskan dalam kurva sebagai berikut.




Gambar 1 : Cost Push Inflation yang diakibatkan oleh Bunga
BEP seat fixed cost tanpa bunga
 
                                                           Total Revenue
                                                                   TCi (Total Cost + Biaya Bunga)
BEP seat fixed cost plus bunga + 17: M17
 
                                                       TC ( Total Cost tanpa Biaya Bunga)

                                                        Fci (Fixed Cost + Biaya Bunga)
                                                        FC (Fixed Cost tanpa Biaya Bunga)

 Q             Qi                             Q



Dengan adanya beban bunga yang harus dibayar produsen, maka fixed cost (biaya tetap) produsen naik, yang pada gilirannya juga meningkatkan biaya total dari TC ke Tci. Naiknya total cost akan mendorong Break Even Point dari titik Q ke Qi. Dengan menggunakan sistem bagi hasil hal ini tidak terjadi.

Jelaslah bahwa tingkat bunga sedikit banyaknya berpengaruh terhadap tingkat inflasi. Meski demikian, masih dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut untuk memperkuat pendapat ini dan mengkaji tingkat signifikansi pengaruhnya di negara-negara lainnya (selain Indonesia).
7.      Decoupling antar sektor riil dan moneter

Sistem bunga telah mendorong para pemilik modal untuk lebih memilih menyimpan dananya di perbankan, pasar modal dan perdagangan surat-berharga baik milik negara maupun swasta (mis-alokasi dana). Akibatnya, uang yang beredar di masyarakat semakin sedikit. Uang yang seharusnya dapt mengembangkan sektor riil justru terserap di sektro moneter. Peter drucker menyebut gejala ketidakseimbangan antara arus moneter dan arus barang/jasa sebagai decoupling, yakni fenomena keterputusan antara maraknya arus uang (moneter) dengan arus barang dan jasa.

Sekedar ilustrasi dari fenomena decoupling tersebut, misalnya sebelum krisis moneter Asia, dalam satu hari, dana yang beredar dalam transaksi maya di pasar modal dan pasar uang dunia, diperkirakan rata-rata sekitar 2-3 triliun dolar AS atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS. Padahal arus perdagangan barang secara internasional dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Didin S Damanhuri, Problem Utang dalam Hegemoni Ekonomi).

Perkembangan dan pertumbuhan finansial di dunia saat ini, sangat tidak seimbang dengan pertumbuhan sektor riil. Realitas ketidakseimbangan arus moneter dan arus barang jasa tersebut, mencemaskan dan mengancam ekonomi berbagai negara. Fenomena ketidakseimbangan itu dipicu oleh maraknya bisnis spekulasi ( terutama di dunia pasar modal, pasar valas dan properti), sehingga potret ekonomi dunia seperti balon saja (bubble economy). Disebut ekonomi balon karena secara lahir tampak besar, tetapi tidak berisi apa-apa kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata ia kosong. Jadi, bubble economy adalah sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kouantitas moneternya, namun tak diimbangi oleh sektor riil.

Akibat pemisahan itu, ekonomi dunia rawan krisis, khususnya negara-negara berkembang (terparah Indonesia). Sebab, pelaku ekonomi tidak lagi menggunakan uang untuk kepentingan sektor riil, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang. Spekulasi inilah yang dapat menggoncang ekonomi berbagai negara, khususnya negara yang kondisi  politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi itu, jumlah uang yang beredar sangta tidak seimbang jumlah barang di sektor riil.

Ali Sakti menjelaskan bahwa munculnya dikotomi antara sektor riil dan moneter merupakan imbas dari bunga, yakni menjadikan bunga sebagai harga uang atau dengan kata lain menjadikan uang sebagai komoditi.

8.      Instabilitas Perekonomian

Ujung dari semua akibat diatas adalah menyebabkan ketidakstabilan perekonomian. Hal ini terbukti dengan banyak krisis yang melanda dunia pada abad 20 dan 21. Krisis keuangan yang berlangsung pada saat ini bukanlah peristiwa yang pertama kali. Roy Davies dan Glyn Davies (1996) dalam buku The History of Money From Ancient Time to the Present Day, menguraikan bahwa sepanjang abad 20 telah terjadi 20 kali krisis besar yang melanda banyak negara. Fakta ini menunjukan bahwa secara rata-rata, setiap 5 tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta umat manusia.

Pada tahun1907, New York mengalami krisis perbankan internasional, padahal beberapa dekade sebelumnya yakni mulai tahun 1860-1921 terjadi peningkatan hebat jumlah bank di Amerika sampai dengan 19 kali lipat. Tahun1920, Jepang mengalami depresi ekonomi. Selanjtnyapada tahun 1922-1923 Jerman mengalami hyper inflation. Karena takut mata uang menurun nilainya, gaji dibayar sampai dua kali dalam sehari. Kemudian, pada tahun 1927 krisis keuangan melanda Jepang (37 Bank tutup); akibat krisis yang terjadi pada bank-bank Taiwan.

Krisis yang paling kita rasakan adalah krisis moneter pada tahun 1998 yang melanda negar-negar Asia, terparah Indonesia. Pada saat ini, satu dekade setelahnya, dunia kembali dilanda financial crisis yang berawal dari aksi spekulasi jual beli sertifikat utang subprime mortgage. Imbasnya, dunia mengalami resesi; jutaan pekerja di PHK, ratusan perusahaan merugi dan gulung tikar.

Fenomena di atas menunjukan bahwa selama ini dunia tidak pernah sepi dari krisis. Ada sebuah permasalahan serius pada sistem keuangan yang dianut oleh para ekonom saat  ini.


C.    Pinjaman Konsumsi dan Pinjaman Produksi.

Argumen yang menyatakan bahwa bunga dilarang karena pada zaman Rasulullah saw, hanya ada pinjaman konsumsi dan bunga yang disertakan dalam pinjaman demikian menyebabkan kesulitan, adalah tidak benar dan bertentangan dengan fakta. Pada masa periode Rasulullah saw, masyarakat muslim telah terbiasadengan gaya hidup sederhana dan tidak melakukan praktik konsumsi mencolok. Karena itu, tak ada alasan meminjam dana untuk tujuan-tujuan pamer diri atau keperluan konsumsi yang tidak penting. Begitu juga, masyarakat telah terorganisasi dengan baik dalam memenuhi kebutuhan pokok si miskin dan mereka yang mengalami kesulitan karena bencana alam. Kalaupun diasumsikan bahwa sekalipun gaya hidup mereka sederhana dan terdapat komitmen sosio-politik masyarakat muslim kepada pemenuhan kebutuhan pokok bagi mereka yang kesulitan, praktik pinjaman ini pasti sangat terbatas pada kalangan tertentu dan jumlahnya pun sedikit, sehingga dapat dipenuhi lewat qardhul hasan. Karena itulah, seorang ulama besar, almarhum Syekh Abu Zahrah, secara tepat menegaskan.

“Sama sekali tak ada bukti yang mendukung pendapat bahwa riba jahiliyah adalah untuk pinjaman konsumtif dan bukan produktif. Sebenarnya, jenis pinjaman yang ditentukan oleh para ulama dan yang didukung oleh data sejarah adalah pinjaman produktif . Keadaan-keadaan bangsa Arab, posisi Mekah, dan perniagaan orang-orang Quraisy, semuanya mendukung pendapat bahwa pada jaman itu adalah untuk tujuan-tujuan produksi dan bukan konsumsi.

Karena itu, ayat Al-Quran yang menentukan penghapusan pokok (modal) pada saat peminjam mengalami kesulitan, tidak mengacu kepada pinjaman konsumsi. Hal demikian mengacu kepada pinjaman bisnis berdasarkan bunga di mana peminjam mengalami kerugian dan tidak dapat membayar kembali, bahkan pokonya sekalipun, apalagi bunganya.

Dengan demikian, keseluruhan argumen yang menyatakan bahwa bunga menimbulkan kesulitan hanya bagi orang yang berutang untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, adalah tidak berdasar. Justru kewajiban masyarakat muslimlah untuk memenuhi kebutuhan orang-orang miskin. Berutang untuk tujuan-tujuan konsumsi yang lain perlu dikontrol dan diorganisasikan, seperti yang diindikasikan dalam buku ini. Karena itu, pada umumnya, utang dalam sebuah masyarakat muslim adalah untuk tujuan bisnis.

Hanya dalam konteks inilah orang dapat memahami argumen jahiliah bahwa jual beli itu seperti bunga dan perbedaan yang digambarkan oleh Al-Quran antara jual beli, seorang pengusaha mempunyai prospek mendapatkan keuntungan, namun dia juga menghadapi risiko kerugian. Sangat berbeda dengan ini, bunga ditentukan di depan secara positif dengan mengabaikan hasil akhir usaha bisnis, yang mungkin untung atau rugi bergantung pada faktor-faktor di luar kontrol pengusaha. Imam ar-Razi sendiri mengajukan persoalan serupa tentang apa yang salah dalam menetapkan bunga ketika peminjam akan mempergunakan dana pinjaman  dalam usaha bisnisnya dan memperoleh keuntungan. Jawabannya terhadap pertanyaan ini adalah, “Memperoleh keuntungan dalam suatu usaha bersifat tidak pasti, sedangkan pembayaran bunga ditentukan di depan dan bersifat pasti. Keuntungan belum tentu dapat diraih. Karena itu, tidak diragukan lagi bahwa pembayaran sesuatu yang pasti untuk sesuatu yang belum pasti akan menimbulkan bahaya.

Karena itu, sebenarnya, riba bertentangan dengan penekanan dan penegasan Islam pada keadilan sosioekonomi. Para pemberi pinjaman yang tidak terlibat dengan risiko, hanya menerima pokok, tidak lebih dari itu. Mereka yang nekat tetap menetapkan  riba meskipun sudah dilarang, berarti—menurut Al-Qur’an—menyatakan perang dengan Allah dan Rasul-Nya.

Pada waktu menunaikan Haji Wada’, Rasulullah saw, mengumumkan penghapusan bunga, mengumumkan penghapusan bunga yang terkumpul milik pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib. Ini adalah bunga pinjaman untuk tujuan bisnis yang diberikan kepada suku Bani Tsaqif. Kabilah ini tidak meminjam dana dari Abbas dan lainnya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, melainkan untuk memperluas usaha bisnis mereka. Ini bukanlah suatu kasus terpisah, tetapi suatu bentuk pembiayaan bisnis yang berlaku pada saat itu. Beberapa kabila yang memiliki keahlian berdagang, bertindak seperti kemitraan besar, mereka  meminjam dana dari anggota-anggota kabilahnya sendiri atau dari kabilah-kabilah yang bersahabat, untuk menjalankan bisnis skala besar yang sumber-sumber daya mereka sendiri tidak mengizinkan. Hal ini disebabkan karena mereka tidak dapat melakukan terlalu banyak perjalanan  bisnis ke luar negeri dari timur ke barat. Sarana komunikasi yang lamban, sulitnya medan perjalanan, dan kerasnya iklim membatasi mereka hanya dua perjalanan niaga. Karena itu, mereka mengumpulkan semua biaya yang dapat diusahakan untuk membeli produk-produk lokal dan kemudian menjualnya ke luar negeri, lalu membawa kembali apa saja yang diperlukan untuk memenuhi semua kebutuhan masyarakat mereka bagi barang-barang impor dalam suatu periode tertentu. Mayoritas transaksi berbasis bunga yang disebutkan dalam tafsir-tafsir klasik yang berkaitan dengan larangan riba adalah pinjaman yang dilakukan oleh kabilah dari kabilah lain, setiap kabilah bertindak seperti perusahaan kemitraan besar. Islam menghapuskan hakikat hubungan berbasis bunga ini, tetapi mereorganisasikan kembali atas dasar prinsip bagi hasil. Penyedia modal mempunyai saham yang adil, sedangkan pelaku bisnis tidak dihadapkan pada kondisi burukl, salah satunya adalah penghadangan terhadap kafilah di tengah perjalanan.








DAFTAR PUSTAKA

Al-Faizin, Abdul Wahid dkk, Tafsir Ekonomi Kontemporer, Jakarta: Madani Publishing House, 2010.

DR Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2007

DR. M UMER CHAPRA, Sistem Moneter Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2000

Sofhian, Sofhian. "SISTEM MONETER ISLAM (Larangan terhadap Praktek Ribawi)." AL-Buhuts 10.1 (2014): 155-180.













2 komentar:

  1. Aku Widya Okta, saya ingin bersaksi pekerjaan yang baik dari Allah dalam hidup saya kepada orang-orang saya yang mencari untuk pinjaman di Asia dan bagian lain dari kata, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara. Apakah mereka orang yang mencari pinjaman di antara kamu? Maka Anda harus sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman penipuan di sini di internet, tetapi mereka masih asli sekali di perusahaan pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban dari suatu 6-kredit pemberi pinjaman penipuan, saya kehilangan begitu banyak uang karena saya mencari pinjaman dari perusahaan mereka. Aku hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari utang saya sendiri, sebelum aku rilis dari penjara dan teman yang saya saya menjelaskan situasi saya kemudian memperkenalkan saya ke perusahaan pinjaman dapat diandalkan yang SANDRAOVIALOANFIRM. Saya mendapat pinjaman saya Rp900,000,000 dari SANDRAOVIALOANFIRM sangat mudah dalam 24 jam yang saya diterapkan, Jadi saya memutuskan untuk berbagi pekerjaan yang baik dari Allah melalui SANDRAOVIALOANFIRM dalam kehidupan keluarga saya. Saya meminta nasihat Anda jika Anda membutuhkan pinjaman Anda lebih baik kontak SANDRAOVIALOANFIRM. menghubungi mereka melalui email:. (Sandraovialoanfirm@gmail.com)
    Anda juga dapat menghubungi saya melalui email saya di (widyaokta750@gmail.com) jika Anda merasa sulit atau ingin prosedur untuk memperoleh pinjaman.

    BalasHapus
  2. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus