Saat ini saya makin percaya bahwa
batu akik bisa menguatkan hablum minannas
warga Indonesia, disamping bola dan kopi. Beberapa bulan terakhir saya
bersama saudara seperantauan turut meramaikan jagat batu akik Indonesia. Bertindak
sebagai pedagang, kebetulan asal kami dari Maluku Utara, selalu saja ada
kiriman dari keluarga di kampung berupa
batu bacan doko, bacan palamea, batu obi, dan giok halmahera, baik yang
masih bongkahan maupun yang sudah digosok.
Sejak awal bulan Mei ini, para
tetangga di sekitaran kontrakan, mulai mencium aroma-aroma dagangan kami.
Alhasil, hampir tiap hari selalu saja ada yang berkunjung ke kontrakan sekedar
menengok, memilah, menyenteri batu lalu deal
untuk dibungkus. Hasil yang kami dapat juga lumayan lah, bisa ditabung untuk
mudik bulan ramadhan esok.
Sebenarnya berdagang ini tak
melulu tentang profit ekonomi, tapi saya bisa berinteraksi dengan warga
Soboman, duduk bareng saling tawar-menawar batu, sembari ngobrol ngalor ngidul, disini kita melepas jubah
latar belakang kita, biasanya yang datang itu Mas Iwan bersaudara selaku remaja masjid Soboman , Mas Agus personil
band reggae Burger Time, dan Mas Suryo si owner bengkel motor.
Malam hari (Rabu, 20 Mei 2015),
ada pelanggan baru yang mampir ke kontrakan, seorang pria bernama Pak Marta
yang tampak seumuran dengan ayah saya, beliau datang karena diajak oleh Mas Suryo, katanya
sih pengen lihat-lihat dulu. Kawan saya, Tri Sofyan seorang juragan salak asal
tanah ngapak pernah memberi petuah, “hey sahabat, dalam engkau berniaga,
nikmati saja proses penawaran, insyallah hasilnya akan menawan” haha siap
komandan.
Saya menikmati dengan mengajak obrol si pelanggan baru ini, dari situ saya tahu kalau beliau adalah seorang
dosen teknik industri di salah satu kampus swasta Islam kota Jogja. Lalu kita saling
bertukar kontak BBM, agar interaksi niaga ini lebih lancar. Saat beliau
mengonfirmasi pertemanan BBM, beliau sempat melihat display picture profil saya, saat itu terpasang gambar karikatur yang saya screen shoot dari akun instagram Om Iwan
Fals tentang refleksi Hari Kebangkitan Nasional, yang bertuliskan “CINTA
INDONESIA, saatnya bangsa ini menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Selamat
Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2015.
Sontak beliau mengomentari gambar
itu, “Begini mas, sampai kapan pun Indonesia ndak akan bisa jadi tuan rumah di negeri sendiri, selama negara
Belanda belum membayar hutang kehormatan kepada pemerintah Indonesia.
“Hutang kehormatan yang bagaimana
ya pak ?”, timpal saya secara penasaran.
“Saya
ini salah satu simpatisan yayasan Komite Utang Berharga Belanda (KUKB), sebuah
lembaga gagasan dari Pak Batara Hutagalung, yang bagi saya sangat mulia, karena
memperjuangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia, meskipun geraknya tidak
terlalu didukung oleh pemerintah Indonesia. KUKB sendiri ingin membuka
fakta-fakta sejarah yang belum banyak masyarakat umum tahu. Salah satu faktanya
ialah Belanda menyerang Indonesia yang notabenenya adalah negara berdaulat pada
rentang waktu tahun 1945 hingga 1949 (Agresi Militer), karena secara de jure Belanda tidak mengakui
kemerdekaan Republik Indonesia adalah tanggal 17 Agustus 1945, melainkan 27
Desember 1949, yaitu ketika penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda
kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Hingga kini pengakuan
tersebut belum berubah. Apabila pemerintah Belanda mengakui de jure kemerdekaan RI 17.8.1945, maka
sebagai konsekuensi logisnya, Indonesia dapat menuntut “pampasan perang” kepada
Belanda, hasil dari perusakan dan pembantaian yang dilancarkan pihak Belanda di
seluruh Indonesia dalam medio tersebut. Pampasan perang adalah pembayaran yang secara paksa ditarik oleh negeri pemenang
perang kepada negeri yang kalah perang sebagai ganti atas kerugian material. Dalam
konteks ini Indonesia adalah negara yang menang (merdeka). Bagi saya, jika
Belanda membayar pampasan perangnya, maka Indonesia akan mampu membayar
hutang-hutang negara kita, sebaliknya Belanda bisa saja jatuh miskin, karena
jumlah hutang yang harus diganti rugi tak sedikit”, jelas Pak Marta dengan
penuh semangat.
Lalu Pak
Marta mengarahkan saya.
“Untuk keterangan yang lebih
lengkap, Mas Fathi bisa ke mesin pencari google, ketik saja KUKB, ada banyak
informasi yang bisa digali mengenai gerakan Pak Batara Hutagalung dkk ini”
Tak
lama berselang, obrolan kami berujung. Pak Marta pun pamit pulang dengan
membawa bongkahan batu bacan incaran beliau.
Malam itu juga saya langsung
berselancar di "samudera Google". Sejauh ini Yayasan KUKB sudah bolak-balik
ke Belanda menuntut hal ini, salah satu hasilnya ialah permintaan maaf pemerintah
Belanda kepada korban-korban pembantaian di kawasan Rawagede dan Westerling,
serta pemberian kompensasi ganti rugi. Masih ada beberapa daerah lagi yang akan
diusahakan selain dua daerah tersebut. Pastinya, langkah KUKB belum berhenti
disini, selama dua petisinya belum terkabulkan, yakni pengakuan de jure Belanda akan kemerdekaan
Indonesia dan permohonan maaf atas penjajahan, perbudakan, kejahatan perang,
kejahatan atas kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat.
Bagi
saya, malam itu cukup berkesan karena mendapat khazanah baru tentang sejarah
bangsa ini, berawal dari obrolan batu akik. Disini saya berada di pihak menolak
lupa. Tetap semangat para pejuang KUKB, dan untuk Pemerintah Belanda, sudahlah
hentikan omong kosong ini. Ada pepatah Jerman yang berbunyi “Lieber ein Ende mit Schrecken, als ein
Schrecken ohne Ende”, yang terjemahan bebasnya adalah: “Lebih baik suatu
akhir yang dramatis, daripada suatu drama tanpa akhir.” Nah lho.
Catatan kaki:
BalasHapusBengkel Honda AHASS Setia Kawan Motor
Sedia : spare part/ suku cadang/ Onderdil HONDA GENUINE PARTS untuk Sepeda Motor HONDA. SIAP kirim via Ekpesidi ke seluruh INDONESIA.
HP WA LINE : 081804496888