Halaman

Jumat, 05 Juni 2015

Batu Bacan, Hari Kebangkitan Nasional dan KUKB


         Saat ini saya makin percaya bahwa batu akik bisa menguatkan hablum minannas warga Indonesia, disamping bola dan kopi. Beberapa bulan terakhir saya bersama saudara seperantauan turut meramaikan jagat batu akik Indonesia. Bertindak sebagai pedagang, kebetulan asal kami dari Maluku Utara, selalu saja ada kiriman dari keluarga di kampung berupa  batu bacan doko, bacan palamea, batu obi, dan giok halmahera, baik yang masih bongkahan maupun yang sudah digosok.

Sejak awal bulan Mei ini, para tetangga di sekitaran kontrakan, mulai mencium aroma-aroma dagangan kami. Alhasil, hampir tiap hari selalu saja ada yang berkunjung ke kontrakan sekedar menengok, memilah, menyenteri batu lalu deal untuk dibungkus. Hasil yang kami dapat juga lumayan lah, bisa ditabung untuk mudik bulan ramadhan esok. 

Sebenarnya berdagang ini tak melulu tentang profit ekonomi, tapi saya bisa berinteraksi dengan warga Soboman, duduk bareng saling tawar-menawar batu, sembari ngobrol ngalor ngidul, disini kita melepas jubah latar belakang kita, biasanya yang datang itu Mas Iwan bersaudara selaku  remaja masjid Soboman , Mas Agus personil band reggae Burger Time, dan Mas Suryo si owner bengkel motor.

 Malam  hari (Rabu, 20 Mei 2015), ada pelanggan baru yang mampir ke kontrakan, seorang pria bernama Pak Marta yang tampak seumuran dengan ayah saya,  beliau datang karena diajak oleh Mas Suryo, katanya sih pengen lihat-lihat dulu. Kawan saya, Tri Sofyan seorang juragan salak asal tanah ngapak pernah memberi petuah, “hey sahabat, dalam engkau berniaga, nikmati saja proses penawaran, insyallah hasilnya akan menawan” haha siap komandan. 

Saya menikmati dengan mengajak obrol si pelanggan baru ini, dari situ saya tahu kalau beliau adalah seorang dosen teknik industri di salah satu  kampus swasta Islam kota Jogja. Lalu kita saling bertukar kontak BBM, agar interaksi niaga ini lebih lancar. Saat beliau mengonfirmasi pertemanan BBM, beliau sempat melihat display picture profil saya, saat itu terpasang  gambar karikatur yang saya screen shoot dari akun instagram Om Iwan Fals tentang refleksi Hari Kebangkitan Nasional, yang bertuliskan “CINTA INDONESIA, saatnya bangsa ini menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Selamat Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2015.

Sontak beliau mengomentari gambar itu, “Begini mas, sampai kapan pun Indonesia ndak akan bisa jadi tuan rumah di negeri sendiri, selama negara Belanda belum membayar hutang kehormatan kepada pemerintah Indonesia.

“Hutang kehormatan yang bagaimana ya pak ?”, timpal saya secara penasaran.

        “Saya ini salah satu simpatisan yayasan Komite Utang Berharga Belanda (KUKB), sebuah lembaga gagasan dari Pak Batara Hutagalung, yang bagi saya sangat mulia, karena memperjuangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia, meskipun geraknya tidak terlalu didukung oleh pemerintah Indonesia. KUKB sendiri ingin membuka fakta-fakta sejarah yang belum banyak masyarakat umum tahu. Salah satu faktanya ialah Belanda menyerang Indonesia yang notabenenya adalah negara berdaulat pada rentang waktu tahun 1945 hingga 1949 (Agresi Militer), karena secara de jure Belanda tidak mengakui kemerdekaan Republik Indonesia adalah tanggal 17 Agustus 1945, melainkan 27 Desember 1949, yaitu ketika penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Hingga kini pengakuan tersebut belum berubah. Apabila pemerintah Belanda mengakui de jure kemerdekaan RI 17.8.1945, maka sebagai konsekuensi logisnya, Indonesia dapat menuntut “pampasan perang” kepada Belanda, hasil dari perusakan dan pembantaian yang dilancarkan pihak Belanda di seluruh Indonesia dalam medio tersebut. Pampasan perang adalah pembayaran yang secara paksa ditarik oleh negeri pemenang perang kepada negeri yang kalah perang sebagai ganti atas kerugian material. Dalam konteks ini Indonesia adalah negara yang menang (merdeka). Bagi saya, jika Belanda membayar pampasan perangnya, maka Indonesia akan mampu membayar hutang-hutang negara kita, sebaliknya Belanda bisa saja jatuh miskin, karena jumlah hutang yang harus diganti rugi tak sedikit”, jelas Pak Marta dengan penuh semangat.

Lalu Pak Marta mengarahkan saya.

“Untuk keterangan yang lebih lengkap, Mas Fathi bisa ke mesin pencari google, ketik saja KUKB, ada banyak informasi yang bisa digali mengenai gerakan Pak Batara Hutagalung dkk ini”
        Tak lama berselang, obrolan kami berujung. Pak Marta pun pamit pulang dengan membawa bongkahan batu bacan incaran beliau.

Malam itu juga saya langsung berselancar di "samudera Google". Sejauh ini Yayasan KUKB sudah bolak-balik ke Belanda menuntut hal ini, salah satu hasilnya ialah permintaan maaf pemerintah Belanda kepada korban-korban pembantaian di kawasan Rawagede dan Westerling, serta pemberian kompensasi ganti rugi. Masih ada beberapa daerah lagi yang akan diusahakan selain dua daerah tersebut. Pastinya, langkah KUKB belum berhenti disini, selama dua petisinya belum terkabulkan, yakni pengakuan de jure Belanda akan kemerdekaan Indonesia dan permohonan maaf atas penjajahan, perbudakan, kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat.

       Bagi saya, malam itu cukup berkesan karena mendapat khazanah baru tentang sejarah bangsa ini, berawal dari obrolan batu akik. Disini saya berada di pihak menolak lupa. Tetap semangat para pejuang KUKB, dan untuk Pemerintah Belanda, sudahlah hentikan omong kosong ini. Ada pepatah Jerman yang berbunyi “Lieber ein Ende mit Schrecken, als ein Schrecken ohne Ende”, yang terjemahan bebasnya adalah: “Lebih baik suatu akhir yang dramatis, daripada suatu drama tanpa akhir.” Nah lho.

Catatan kaki:



1 komentar: