Pernyataan diatas justru berbanding terbalik, jika kita menengok fenomena kasus korupsi di Indonesia hingga saat ini, mayoritas para koruptor yang menjadi pasien KPK adalah kaum intelektual, berpredikat Profesor maupun Doktor. Artinya, ada sesuatu yang salah dari perguruan tinggi dalam proses pembentukan hingga meluluskan para akademisinya. Maka, timbullah pertanyaan, yakinkah Universitas sebagai pencetak koruptor ?
Ada beberapa alasan yang ditengarai menjadi faktor Universitas
sebagai institusi pencetak koruptor.
Pertama, budaya uang pelicin, dalam hal ini sudah
menjadi rahasia umum bahwa banyak Universitas yang menerima mahasiswa lewat
jalur uang pelicin, tanpa pandang kualitas calon mahasiswa tersebut. Disini
memang yang melakukan korupsi adalah calon mahasiswa baru , tapi secara
langsung Universitas telah berperan dan menjadi fasilitator praktek menyogok
tersebut, inilah benih awal koruptor yang kemudian akan tumbuh saat si
mahasiswa terjun dalam dunia kerja, jika
upah yang ia dapatkan tidak sebanding dengan uang pelicin dan modal yang di keluarkan selama berkuliah, maka
timbulah hasrat untuk melakukan korupsi. Praktek ini mirip dengan para anggota
lembaga legislatif yang korup, pada saat berkampanye begitu jor-joran dana kampanye dan
ber money politic, sehingga saat
terpilih, orientasi etos kerja mereka hanya untuk kembali modal, hingga
berujung pada tindakan korupsi.
Kedua, apabila Universitas
menekankan biaya tinggi dalam pelaksanaan perkuliahan , namun tanpa disertai
mutu pendidikan dalam arti yang sebenarnya, sangat mudah mendorong terhadap
perilaku konsumstif dan hedonis. Contoh
perilaku ini misalnya, ditandai oleh persaingan duniawi, sehingga mendorong
mahasiswa lebih bersikap menonjolkan materi daripada kualitas pribadi, dari
situ akan melahirkan perbuatan ketidakjujuran juga berlebih - lebihan .
Ketiga, ketika dosen mengajar mata kuliah, melenceng
dari silabus dan metodologi pembelajarannya. Arah proses perkuliahan tidak
sesuai dengan perjanjian awal, alhasil akan berdampak sistemik, mulai dari
tumpang tindih dan menumpuknya tugas maupun ujian dengan mata kuliah lainnya,
disini berpotensi menumbuhkan perilaku copy paste atau plagiat oleh
mahasiswa, inilah salah satu kelakuan yang menjadi embrio korupsi. Kemudian di dalamnya terjadi korupsi waktu,
lantaran dosen akan mengurangi atau melebihkan jangka waktu kuliah untuk
mengejar target silabus . Secara psikologi Mahasiswa akan terbiasa dengan
situasi seperti ini dan bukan tidak mungkin mereka akan terinspirasi
mengamalkannya kelak saat berprofesi .
Dari ketiga faktor tersebut,
dapat kita tarik benang merahnya agar kampus tidak menjadi lembaga pendidikan
penyetor tikus- tikus berdasi tiap
tahunnya dan mengembalikan hakikat dari tujuan Universitas itu sendiri. Karena
dewasa ini universitas – universitas orientasinya hanya meningkatkan tingkat
intelektual dan keterampilan saja. Belum sepenuhnya mampu menciptakan lulusan –
lulusan yang memiliki kecerdasan intelektual, spiritual dan emosional yang sama
baiknya, begitu juga mereka yang memiliki etika dan moral yang kuat.
Sebab dalam kasus – kasus korupsi
, sesungguhnya para pelakunya tak hanya mengkorupsi uang, tetapi lebih dari itu
ia telah melakukan korupsi moral. Mengapa ? karena ia telah melakukan destruksi
dan kontaminasi atas keluhuran nilai – nilai moral dan hati nurani yang
diwariskan yang luhur budi. Menurut H. Zainal Arifin Thoha, S.Ag, korupsi moral
ini jauh berbahaya ketimbang korupsi uang. Kata orang uang masih bisa dicari,
tetapi kemana lagi kita harus mencari nilai – nilai moral dan hati nurati ? .
Dalam rangka mendukung pencapian
tujuan tersebut, maka diperlukan sebuah lingkungan kampus yang benar-benar kondusif,
dimana nilai-nilai religi mewarnai seluruh aspek kehidupan kampus, tak sekedar
nama dan tagline nya saja yang berlabel agama. Sehingga terciptanya iklim
spritual di dalamnya, hal ini harus menjadi urusan seluruh civitas akademika,
bukan hanya urusan pribadi masing - masing . Kemudian Stakeholder universitas
selayaknya bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Keteladanan seorang
dosen juga sangat diperlukan dalam menguatkan etika dan moral akademisi. Dosen
tidak hanya memberi materi kuliah, namun menginspirasi dalam perangai dan pola
hidup mereka .
CATATAN
RUJUKAN :
H. Zainal Arifin Thoha, S.Ag (dkk) , Korupsi Dalam Perspektif Agama – Agama, LPPI UMY, Ykt .
H. Zainal Arifin Thoha, S.Ag (dkk) , Korupsi Dalam Perspektif Agama – Agama, LPPI UMY, Ykt .
*Tulisan saya yang ini juga bisa dibaca di Koran LPPM Nuansa UMY edisi Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar