Halaman

Minggu, 16 Maret 2014

Yakinkah, Kampus Sebagai Pencetak Koruptor ?

Menurut Conny R. Semiawan (1998:33) perguruan tinggi  berfungsi untuk mempersiapkan peserta didik menjadi manusia yang memiliki perilaku, nilai dan norma sesuai sistem yang berlaku sehingga mewujudkan totalitas manusia yang utuh dan mandiri sesuai tata cara hidup bangsa.

Pernyataan diatas justru berbanding terbalik, jika kita menengok fenomena kasus korupsi di Indonesia hingga saat ini, mayoritas para koruptor yang menjadi pasien KPK adalah kaum intelektual, berpredikat Profesor maupun Doktor.  Artinya, ada sesuatu yang salah dari perguruan tinggi dalam proses pembentukan hingga meluluskan para akademisinya. Maka, timbullah pertanyaan, yakinkah Universitas sebagai pencetak koruptor ?

Ada beberapa alasan  yang ditengarai menjadi faktor Universitas sebagai institusi pencetak koruptor.

Pertama,  budaya uang pelicin, dalam hal ini sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak Universitas yang menerima mahasiswa lewat jalur uang pelicin, tanpa pandang kualitas calon mahasiswa tersebut. Disini memang yang melakukan korupsi adalah calon mahasiswa baru , tapi secara langsung Universitas telah berperan dan menjadi fasilitator praktek menyogok tersebut, inilah benih awal koruptor yang kemudian akan tumbuh saat si mahasiswa terjun dalam dunia kerja,  jika upah yang ia dapatkan tidak sebanding dengan uang pelicin dan modal   yang di keluarkan selama berkuliah, maka timbulah hasrat untuk melakukan korupsi. Praktek ini mirip dengan para anggota lembaga legislatif yang korup, pada saat  berkampanye begitu jor-joran dana kampanye dan ber money politic, sehingga saat terpilih, orientasi etos kerja mereka hanya untuk kembali modal, hingga berujung pada tindakan korupsi.

Kedua, apabila Universitas menekankan biaya tinggi dalam pelaksanaan perkuliahan , namun tanpa disertai mutu pendidikan dalam arti yang sebenarnya, sangat mudah mendorong terhadap perilaku konsumstif dan hedonis.  Contoh perilaku ini misalnya, ditandai oleh persaingan duniawi, sehingga mendorong mahasiswa lebih bersikap menonjolkan materi daripada kualitas pribadi, dari situ akan melahirkan perbuatan ketidakjujuran juga berlebih - lebihan .

Ketiga,  ketika dosen mengajar mata kuliah, melenceng dari silabus dan metodologi pembelajarannya. Arah proses perkuliahan tidak sesuai dengan perjanjian awal, alhasil akan berdampak sistemik, mulai dari tumpang tindih dan menumpuknya tugas maupun ujian dengan mata kuliah lainnya, disini berpotensi menumbuhkan perilaku copy paste atau plagiat oleh mahasiswa, inilah salah satu kelakuan yang menjadi embrio korupsi.  Kemudian di dalamnya terjadi korupsi waktu, lantaran dosen akan mengurangi atau melebihkan jangka waktu kuliah untuk mengejar target silabus . Secara psikologi Mahasiswa akan terbiasa dengan situasi seperti ini dan bukan tidak mungkin mereka akan terinspirasi mengamalkannya kelak saat berprofesi .

Dari ketiga faktor tersebut, dapat kita tarik benang merahnya agar kampus tidak menjadi lembaga pendidikan penyetor  tikus- tikus berdasi tiap tahunnya dan mengembalikan hakikat dari tujuan Universitas itu sendiri. Karena dewasa ini universitas – universitas orientasinya hanya meningkatkan tingkat intelektual dan keterampilan saja. Belum sepenuhnya mampu menciptakan lulusan – lulusan yang memiliki kecerdasan intelektual, spiritual dan emosional yang sama baiknya, begitu juga mereka yang memiliki etika dan moral yang kuat. 

Sebab dalam kasus – kasus korupsi , sesungguhnya para pelakunya tak hanya mengkorupsi uang, tetapi lebih dari itu ia telah melakukan korupsi moral. Mengapa ? karena ia telah melakukan destruksi dan kontaminasi atas keluhuran nilai – nilai moral dan hati nurani yang diwariskan yang luhur budi. Menurut H. Zainal Arifin Thoha, S.Ag, korupsi moral ini jauh berbahaya ketimbang korupsi uang. Kata orang uang masih bisa dicari, tetapi kemana lagi kita harus mencari nilai – nilai moral dan hati nurati ? .

Dalam rangka mendukung pencapian tujuan tersebut, maka diperlukan sebuah lingkungan kampus yang benar-benar kondusif, dimana nilai-nilai religi mewarnai seluruh aspek kehidupan kampus, tak sekedar nama dan tagline nya saja yang berlabel agama. Sehingga terciptanya iklim spritual di dalamnya, hal ini harus menjadi urusan seluruh civitas akademika, bukan hanya urusan pribadi masing - masing . Kemudian Stakeholder universitas selayaknya bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Keteladanan seorang dosen juga sangat diperlukan dalam menguatkan etika dan moral akademisi. Dosen tidak hanya memberi materi kuliah, namun menginspirasi dalam perangai dan pola hidup mereka .

CATATAN RUJUKAN :                                                                                              
H. Zainal Arifin Thoha, S.Ag (dkk) , Korupsi Dalam Perspektif Agama – Agama, LPPI UMY, Ykt .
*Tulisan saya yang ini juga bisa dibaca di Koran LPPM Nuansa UMY edisi Maret 2014 















Tidak ada komentar:

Posting Komentar