A. Latar Belakang
Riba
merupakan permasalahan yang telah lama dibahas, tidak hanya oleh umat Islam,
tapi juga umat-umat terdahulu. Sekitar 24 abad silam atau empat abad sebelum
masehi, dua filsuf Yunani, Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM)
telah mengecam praktik riba. Menurut Plato, sistem riba telah menyebabkan
perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat serta menjadi alat
eksploitasi orang kaya terhadap orang-orang miskin. Sementara Aristoteles
menyatakan bahwa uang adalah medium of change (media pertukaran), sehingga
tidak diperkenankan memperanakkan uang. Pada masa Romawi, sekitar ke-V sebelum
masehi hingga abad ke-IV Masehi, terdapat undang-undang yang membenarkan
penduduknya mengambil riba hingga batas maksimum yang diperbolehkan. Praktik
tersebut dikecam oleh dua filsuf Romawi, Cato (234-149 SM) dan Cicero (106-43
SM) .
Dua
agama samawi, Yahudi dan Kristen juga melarang praktik ini. Dalam Kitab
Perjanjian Lama dan undang-undang Talmud disebutkan dengan jelas larangan
praktik riba bagi orang-orang Yahudi baik berupa uang maupun makanan. Sedangkan
Kitab Perjanjian Baru milik Kristiani tidak menyebutkan permasalahan ini dengan
jelas, sehingga muncul berbagai tanggapan dan tafsiran dari pemuka Kristen
tentang boleh-tidaknya orang kristen mempraktikan pengambilan riba. Para
pendeta Awal Kristen (abad I-XII) melarang praktik riba dengan merujuk kepada
Kitab Perjanjian Lama yang juga mereka imani. Pada abad XII-XVI, seiring dengan
perkembangan ekonomi dan perdagangan, para sarjana Kristen membedakan antara interest
dan usury. Interest diperbolehkan, sedangkan usury adalah riba yang berlebihan.
Namun, setelah abad XVI, beberapa sarjana Kristen mendesak diperbolehkannya
praktik riba.
Jadi,
permasalahan riba adalah permasalahan klasik. Hal ini tidak lain karena adanya
keuntungan yang cukup menggiurkan bagi para pengambil riba meski dengan
mengeksploitasi kekayaan saudaranya. Pada saatini, sistem bunga telah menjadi
sebuah sistem yang menglobal dan berakar kuat. Hampir seluruh negara di dunia
mengadopsi sistem bunga. Sebagian ekonom meyakini bahwa bunga adalah kunci
untuk menstabilkan perekonomian, namun sebagian lain justru menilai bahwa bunga
adalah sumber instabilitas perekonomian.
B.
Rumusan Masalah
Sejalan dengan latar
belakang permasalahan yang sedikit dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan
beberapa masalah kajian sebagai berikut.
1. Pengertian Riba.
Riba Nasi’ah dan Riba Fadhl
2. Mengapa riba
dilarang ?
3. Pinjaman konsumsi
dan pinjaman produksi.
Pembahasan
A.
Pengertian
Riba. Riba Nasi’ah dan Riba Fadhl
Zuhaili menyebutkan bahwa makna riba secara bahasa
adalah tambahan. Adapun maknanya menurut syara’ adalah suatu tambahan harta
tertentu pada transaksi pertukaran harta dengan harta tanppa adanya ‘iwadh
(padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut).
Berikut ini adalah definisi riba menurut beberapa
ulama’ lainnya:
1. Imam
Sarkhasi (bermazhab Hanafi):
“Riba
adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi jual beli tanpa adanya
‘iwadh.”
2. Raghib
Al-Asfahani:
“Riba
secara bahasa adalah penambahan atas harta pokok”
3. Imam
Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal ketika
ditanya tentang riba beliau menjawab: Sesungguhnyariba itu adalah seseorang
memiliki hutang lalu dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar
lebih. Jikalau tidak mampu melunasi ia harus menambah harta atas penambahan
waktu yang diberikan.
4. Ibnu
Hajar Al-Haitsami
“Riba
secara bahasa adalah tambahan, sedangkan menurut syara’ adalah suatu akad
dengan ‘iwadh tertentu yang tidak diketahui padanannya menurut standar syara’
atau dengan penangguhan kedua hal yang dipertukarkan atau salah satunya”
Jenis Riba
Menurut Zuhaili, riba memilik dua
macam: Riba Nasiah dan Riba Fadhl.
Riba Nasiah ialah suatu tambahan
pada salah satu diantara dua ‘iwadh (yang dipertukarkan) yang disebabkan karena
penundaan jatuh tempo pelunasan, atau penangguhan serah terima barang meski
tanpa adanya tambahan. Riba ini terjadi pada transaksi utang-piutang dan
jual-beli.
Sementara Riba Fadhl adalah
dijualnya harta tertentu (emas, perak, gandum, syair (sejenis gandum), garam
dan buah kurma dengan adanya tambahan pada salah satu ‘iwadh. Dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Muslim disebutkan:
“Emas
dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr (salah satu jenis gandum),
sya’ir dengan sya’ir (salah satu jenis gandum juga), kurma dengan kurma, garam
dengan garam, yang semisal (jenisnya), yang setara (takarannya), dari tangan ke
tangan (secara cash), apabila berbeda jenisnya, maka jadilah terserah kalian
apabila dilakukan secara langsung.”
Ibnu HajarAl Haitsami membagi riba
ke dalam 3 macam: riba fadhl, riba yad, dan riba nasiah. Kemudian Mutawalli
Sya’rawi menambahkan jenis keempat,
yakni riba qardh. Sedangkan Lajnah Daimah
li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’ membaginya kedalam tiga kategori yang
berbeda: riba fadhl, riba nasiah dan riba qardh.
Perbedaan pendapat ini hanyalah
perbedaan sudut pandang dalam mengkaegorikan jenis riba. Adapun apa yang
diungkap oleh Syafi’i Antonio bisa dijadikan rujukan , karena lebih sederhana
dan lebih dimengerti. Ia menjelaskan ada 2 macam riba: Riba uatng-piutang dan
riba jual beli. Macam pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba
jahiliyyah. Adapun macam kedua juga terbagi dua: riba fadhl dan riba nasiah.
·
Riba Qardh: Suatu manfaat atau tingkat
kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang.
·
Riba Jahiliyah: Utang dibayar lebih
lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu
yang ditetapkan.
·
Riba Fadhl: Pertukaran antar barang
sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang
dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi (emas, perak, gandum,
sya’ir, kurma dan garam).
Sayyid
Sabiq menjelaskan bahwa ‘illah tahrim (alasan pengharamn ), adalah karena
keenam barang ini merupakan barang-barang pokok yang dibutuhkan oleh manusia.
Emas dan perak merupakan unsur penting dari uang dan juga sebagai pengukur
harga barang. Adapun empat empat lainnya merupakan makanan pokok yang menyokong
kehidupan. Oleh karenanya, bila illah ini terdapat pada barang lainnya, maka ia
termasuk dalam jenis riba ini.
· Riba
Nasiah: Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi
lainnya. Riba Nasih dapat muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau
tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
B. Mengapa riba dilarang ?
1.
Tidak
ada unsur keadilan
Menurut Islam, adil
merupakan norma paling utama dalam seluruh aspek perekonomian. Hal itu dapat
kita tangkap dalma pesan Al-Qur’an yang menjadikan adil sebagi tujuan agama samawi.
Bahkan, adil adalah salah satu asma Allah. Kebalikan sifat adil adalah zalim,
yaitu sifat yang dilarang Allah pada diri-Nya sebagaimana dilarang dalam
firman-Nya pada hamba-Nya: “Wahai hamba-hamba-Ku, Aku melarang kezaliman pada
diri-Ku dan Aku haramkan juga antara kamu, maka janganlah kamu saling
menzalimi.”
Allah menyukai orang
menyukai yang bersikap dan sangat memusuhi kezaliman, bahkan melaknatnya:
“Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim” (QS
al-Hud:18)
Oleh sebab itu, Islam
mencegah bai’ul gharar karena ketidaktahuan terhadap kondisi suatu barang itu
merugikan satu pihak dan bisa menimbulkan tindakan zalim.
Demikian pula, dilarang
mengadakan muamalah yang di dalamnya terdapat unsur penipuan. Jika kadar
penipuan itu tidak terlalu besar mungkin masih bisa dimaklumi, tetapi kalau
sangat besar maka tidak bisa ditolerir. Demikian pula halnya dengan larangan
terhadap bai’ul mudhtar (terpaksa). Menurut Imam Al Khitabi, bai’ul mudhtar
adalah suatu keadaan ketika seseorang terpaksa menjual barang miliknya karena
terhimpit utang atau tertimpa musibah yang harus segera diatasi. Sebenarnya,
cara terbaik bagi sesorang untuk menyelesaikan utang bukanlah dengan menjual
barang milikinya, tetapi yang bersangkutandipinjami uang untuk menjalankan
usaha yang keuntungannya dibagi dua, atau utangnya ditutupi orang lain yang
mampu.
Jika suatu jual beli
terjadi karena alasan darurat seperti ini, hukumnya sah namun tercela menurut
agama. Alasannya, di dalamnya terdapat unsur “mengambil kesempatan dari orang
yang terpaksa menjual barang miliknya”, sebab membeli akan mendapatkan harga di
bawah standar.
Di antara tanda
keadilan adalah haramnya bermuamalah dengan riba. Al Qur’an mengisyaratkan
bahwa Allah Swt dan arsul-Nya memerangi pelaku-pelakunya. “Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka bagimu pokok hartamu kamu tidak menganiaya dan
tidak pula dianiaya” (QS al-Baqarah:279). Ayat ini membuktikan bahwa dasar
pelarangan riba ialah terdapat unsur kezaliman pada kedua belah pihak. Maka
dengan dihapuskannya riba, kezaliman itu hilang sebagaimana dinyatakan oleh
ayat itu, “tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”.
Nabi saw. menilai riba
termasuk dalam “tujuh mubiqat” yaitu membinasakan perorangan dan masyarakat,
dunia dan akhirat. Nabi melaknat pemakan dan pemberi riba, penulis dan dua
orang saksinya dengan berkata, “Mereka semuanya sama” dalam berbuat dosa,
meskipun berbeda tingkat dosanya.
Riba dan prostitusi
adalah dua penyakit masyrakat yang jika menyebar akan menimbulkan kemurkaan
Allag.
“Jika
prostitusi dan riba telah merajalela di suatu masyarakat maka mereka telah
menghalalkan bagi diri mereka azab Allah azza wajalla.” (HR Thabrani dan
Hakim).
Itu tidak lain karena
riba adalah tindakan memakan harta orang lain tanpa jerih payah dan risiko,
kemudahan yang diperoleh orang kaya di atas kesedihan orang miskin, serta
merusak semangat manusia untuk bekerja mencari uang.
Para ahli ekonomi
kontemporer banyak membahas tentang riba dan bahayanya bagi kehidupan
masyarakat, baik dalam segi kemasyarakatn, ekonomi, dan politik. Sebagian dari
mereka berkata, “Masyarakat kita akan berjalan pada porosnya jika mereka bisa
menurunkan nilai riba sampai kepada derajat nol persen.” Demikin pula pendapat
ekonom Inggris, Lord Kent.
2.
Mengurangi
Hak Manusia
Nabi Syuaib juga
memperingatkan mereka agar tidak mengurangi hak manusia. Ini merupakan salah
satu cacat pasar, yang timbul karena sifat egois dan diliputi oleh perbaikan
kezaliman.
“Dan
kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syuaib, ia berkata, ‘Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan
janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu
dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan
azab hari yang membinasakan (kiamat). ‘ Dan Syuaib berkata, ‘Hai, kaumku,
cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan
manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka
bumi dengan membuat kerusakan. ‘”(Hud:
84-85)
Dalam ayat ini, ditegaskan bahwa
merugikan hak manusia termasuk jenis perbuatan yang merusak bumi. Imam Al
Qurthubi mengatakan bahwa dilarang merugikan orang lain. Tindakan yang
merugikan diantaranya dengan membuat cacat barang dagangan, memanipulasi nilai
sebenarnya, atau mengurangi timbangannya. Semua ini termasuk jenis memakan
harta manusia dengan cara yang batil dan dilarang dalam masyarakat modern dan
masyarakat lalu melalui ucapan para rasul.
3.
Bukan
termasuk jual-beli
Gambaran
kondisi para pelaku riba yang berdiri seperti berdirinya orang gila, disebabkan
oleh anggapan dan pernyataan mereka bahwa praktik riba adalah sama halnya
dengan jual beli. Hal ini disinggung oleh Allah dalam firman-Nya:
...
“Adalah disebabkn mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnyajual beli itu sama dengan riba.” (QS al Baqarah: 275)
Padahal
keduanya (riba dan jual beli) adalah dua hal yang sangat berbeda sebagaimana
yang terkandung dalam firman-Nya. “Dan
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengahramkan riba” (QS al Baqarah:
275) . Ibnu Katsir menerangkan bahwa firman ini merupakan pengingkaran atas apa
yang mereka sangkakan (jual beli sama dengan riba), sedangkan Allah SWT adalah
Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui segala yang bermanfaat bagi hamba-Nya pasti
diperbolehkan, sedangkan yang berbahaya bagi hamba-Nya pasti dilarang.
Al-Qurthubi
menjelaskan bahwa orang Arab kala itu menganggap bahwa tambahan setelah
melewati jatuh tempo adalah sama halnya dengan penentuan harga di awal akad
(padajual beli). Ketika utang seseorang telah jatuh tempo, maka akan dikatakan
kepadanya: “Apakah akan melunasi ataukah memberikan tambahan pada pokok utang (karena
menangguhkan pelunasan)?” Oleh karenanya Allah SWT mengaharamkan praktik
tersebut melalui firman-Nya:“dan telah
dihalalkan oleh Allah kegiatan jual-beli dan mengharamkan riba” (QS al Baqarah: 275)
Ar-Razi
menjelaskan bahwa Ibnu Abbas hanya mengharamkan jenis riba nasiah. Menurutnya,
riba adalah suatu ungkapan dari adanya tambahan, sedangkan tidak semua tambahan
adalah riba. Adapun firman Allah hanya meliputi akad tertentu yang mereka kenal
sebagai riba, yakni riba nasiah. Ia merujuk kepada hadits nabi: “Tidak ada riba
kecuali dalam nasiah”
Namun,
jumhur ulama bersepakat atas pengharaman segala jenis riba (riba nasiah dan
riba naqd/fadhl). Riba nasiah adalah diharamkan oleh Al-Qur’an sedangkan
pelarangan riba naqd/fadhl bersumber dari hadits nabi yang menjelaskna larangan
riba naqd/fadhl pada enam barang ribawi sebagaimana telah disebutkan di atas.
Imam Malik dalam al-Muwaththa’ memberikan penjelasan bahwasannya itu adalah
pendapat Ibnu Abbas pertama kali. Akan tetapi ia mengoreksi pendapatnya setelah
mendapati berbagai riwayat hadits-hadits shahih yang menyatakan keharaman riba
fadhl sebagaimana dikupas oleh Al-hazimi dalam bukunya Kitab an-Nasikh wa
al-Mansukh.
Al-Alusi
menegaskan bahwa seseorang yang menjual
bajunya seharga 1 dirham dengan harga 2 dirham adalah suatu hal yang
dibenarkan, karena harga tersebut ditukar dengan baju (barang). Adapun jika ia
menjual satu dirham dengan tambahan dirham tanpa adanya ‘iwadh, maka hal
tersebut diharamkan.
Abu
Ja’far berkata: Allah menghalalkan keuntungan dalam perdagangan dan jual beli,
serta mengharamkan riba, yakni adanya tambahan yang dikarenakan penundaan
pelunasan utang setelah jatuh tempo. Meskipun keduanya (jual beli dan utang)
menghendaki adanya tambahan pada jual
beli dan tidak pada utang-piutang. Hal tersebut adalah urusan Allah. Dia
berbuat sesuai apa yang Ia kehendaki. Oleh karenanya, kita dituntut untuk taat
dan tidak menentang perkara ini.
Zuhaili
menerangkan bahwa tindakan mereka (orang Arab) yang mengqiyaskan tambahan
ribawi setelah jatuh tempo dengan penentuan harga pada jual beli adalah suatu
qiyas fasid, karena mengqiyaskan sesuatu yang berbeda. Pada jual beli terdapat
pengganti barang yang dibutuhkan atas tambahan yang diberikan, sedangkan riba
diberikan karena terpaksa dengan tidak ada iwadh.
Abu
al-A’la al-Maududi dalam The Meaning of the Qur’an menjelaskan empat perbedaan
mendasar antara perdangan (jual-beli) dan riba:
1.
Dalam perdagangan, pembeli dan penjual
melakukan pertukaran secara adil. Pembeli mendapatkan keuntungan daari barang
yang dibelinya, sedangkan penjual mendapatkan imbalan atas tenaga dan waktu
yang dikerahkan untuk memproduksinya atau menjualnya. Sementara dalam riba,
tidak ada pembagian keuntungan secara adil. Kreditur mendapatkan sejumlah uang
tambahan dari pinjamannya, sedangkan debitur mendapatkan waktu untuk
menggunakan uang tersebut, padahal waktu tidak memberikan keuntungan pasti.
2.
Dalam perdagangan, betapapun besarnya
keuntungan yang diraih oleh penjual dia hanya mendapatkannya sekali saja.
Sementara kreditur tidak akan berhenti untuk meminta bunga pinjamannya selama
belum dilunasi.
3.
Dalam perdagangan, pada saat barang
ditukar dengan harganya maka transaksi tersebut telah selesai. Pembeli tidak
membayar lebih setelah transaksi. Dalam transaksi sewa-menyewa, baik rumah,
tanah atau barang lainnya, penyewa akan mengembalikan barang sewaannya setelah
selesai masa sewanya, ia tidak membayar lebih setelahnya. Dalam praktik riba,
debitur menggunakan sejumlah uang yang dipinjamnya dan harus mengembalikan
dengan jumlah yang sama dengan tambahan bunga.
4.
Dalam perdagangan, penjual mendapatkan
keuntungan dari jerih payah tenaganya atau keahlian yang dimilikinya. Dalam
transaksi riba, kreditur mendapatkan keuntungan tanpa usaha dan kerja keras.
4. Menimbulkan banyak kemudharatan dalam
perekonomian
Adalah
suatu hal yang harus diyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah Swt tidaklah
sekali-kali melarang sesuatu kecuali ada madharat di dalamnya. Segala apa yang
Allah perintahkan dan larang pasti mengundang hikmah. Sesungguhnya perintah Allah
untuk meninggalkan dan menjauhi riba tidaklah untuk memberatkan manusia atau
justru merugikan manusia. Sebagaimana firman-Nya:
“Kami tidak menurunkan
Al-Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah” (Qs. Thaha: 2)
Qatadah
menjelaskan bahwa Allah Swt tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai hal yang
menyusahkan, akan tetapi sebagai rahmat, cahaya dan petunjuk ke surga.
Sesungguhnya
praktik bunga telah memberikan dampak yang terhadap kehidupan manusia. Maududi
menerangkan bahwa riba dapat memberikan madharat dari segi moral, dari segi
peradaban dan sosial, dan dari segi ekonomi. Namun, tulisan ini hanya membahas
dampak yang ditimbulkan oleh riba dari segi ekonomi. Ada beberapa dampak
negatif yang ditimbulkan oleh riba, diantaranya:
1.
Eksploitasi kekayaan peminjam (debitur)
Bunga
telah menjadi alat eksploitatif yang menguras kekayaan si peminjam.
Ketidakberdayaan, kesempitan dan kesulitan yang dihadapi oleh peminjam telah
dijadikan sebagai objek untuk mencari keuntungan dan kepentingan orang-orang
kaya. Di berbagai pasar, dapat kita temukan para rentenir yang sedang menagih
piutangnya dengan bunga yang cukup tinggi. Para pedagang di pasar tak punya
pilihan lain selain harus meminjam dari mereka untuk tetap dapat berdagang .
Tak heran, para rentenir sering diistilahkan dengan lintah darat yang suka
menghisap kekayaan orang lain.
Dalam
tataran makro, negara Indonesia adalah salah satu korban dari pinjaman berbunga
dari berbagai lembaga Keuangan Internasional, terutama IMF (International Monetary Fund). Menurut World Development Report 2000/2001,
Indonesia adalah negara keenam yang terjerat dalam utang pada tahun 1998 (lihat
tabel 1)
Tabel
1. Menunjukan bahwa kondisi ULN Indonesia setara dengan sejumlah negara Afrika.
Akibatnya, Indonesia tidak bisa mengelak untuk membayar bunganya. Baswir (2002)
mengungkapkan bahwa dari total APBN 2001 sebesar Rp 340 triliun, Rp23,8 triliun
digunakan untuk membayar bunga utang luar negeri. Jika ditambah dengan bunga
utang luar negeri sebesar Rp 61,2 triliun, maka 26,32 persen APBN 2001 habis
terpakai untuk membayar bungaULN mencapai Rp 27,4 triliun. Bila ditambah dengan
bunga utang dalam negeri sebesar Rp 59,6 triliun, volume APBN 2002 yang dipakai
untuk membayar bunga utang mencapai
26,17 persen.
Tabel 1. Sepuluh Negara yang terjerat
Utang 1998
No
|
Negara
|
Utang LN
|
ULN/Kapita
|
Nilai Kini ULN thd PDB (%)
|
1990
|
1998
|
1998
|
(US$ billions)
|
(US$)
|
1
|
Kongo
|
4.9
|
5
|
1,630
|
280
|
2
|
Angola
|
8.5
|
12.1
|
1,000
|
279
|
3
|
Nikaragua
|
10.7
|
5.9
|
1,200
|
262
|
4
|
Kongo Dem
|
10.2
|
12.9
|
260
|
196
|
5
|
Zambia
|
6.9
|
6.8
|
680
|
181
|
6
|
Indonesia
|
69.8
|
150
|
750
|
169
|
7
|
Mauritania
|
2
|
2.6
|
800
|
148
|
8
|
Ethiopia
|
8.6
|
10.3
|
165
|
135
|
9
|
Siere Leone
|
1.1
|
1.2
|
240
|
126
|
10
|
Cote d’Ivore
|
17.2
|
14.8
|
1,000
|
122
|
Sumber:
World Developmnet Report 2000/2001 (diolaj dari Revrisond Baswir)
Pembayaran
utang yang lebih dari seperampat volume APBN itu berdampak pada membengkaknya
defisit anggaran negara. Sebagaimana tampak dalam APBN 2001, defisit anggaran
tercatat sebesar Rp 54,3 triliun. Tindakan yang dilakukan pemerintah untuk
menutup defisit anggaran negara itu antara lain adalah dengan menggenjot
penerimaan pajak , menjdawalkan dan membuat utang luar negeri baru, mengurangi
subsidi, menjual aset perusahaan swasta yang dikuasai Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN),
dan melakukan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Meski demikian,
pemerintah masih kurang mempedulikan hal ini dimana ULN Indonesia (pemerintah
dan swasta) mencapai US$ 172.871 Juta per Desember 2009 walaupun telah terjadi
penurunan dalam rasionya terhadap PDB, yakni 31,5%.
Sebenarnya
negara manakah yang sedang kesusahan menginginkan untuk membayar bunga, bahkan
negara besar seperti Inggris sekalipun. Setelah perang dunia ke dua, Inggris
mengalami kerugian yang besar. Oleh karenanya, ia meminta bantuan kredit tanpa bunga
kepada Amerika. Tetapi Amerika enggan dan menolak untuk memberi kredit tanpa
bunga. Hal ini tentunya menimbulkan kerenggangan antar kedua negara tersebut.
2.
Monopoli sumber Dana
Siregar
(2001) telah memberi penjelasan tentang dampak dari adanya suku bunga terhadap
ketidakstabilan ekonomi. Menurutnya dengan adanya ketentuan suku bunga, maka
pinjaman pada perbankan akan memerlukan kepastian pengambilan. Oleh karenanya,
lending perbankan hanya akan diberikan kepada peminjam yang memiliki jaminan
kredit guna meng-cover pinjaman tersebut dan kecukupan cash flow untuk memenuhi kewajibannya. Akibatnya, dana bank hanya
akan mengalir kepada golongan kaya saja, sedangkan golongan miskin sangat susah
untuk memperoleh bagian pinjaman kredit perbankan.
3.
Mis-alokasi dana
Fakta
selanjutnya menunjukan bahwa golongan kaya yang memperoleh kredit tersebut
umumnya memanfaatkan dana tersebut tidak hanya untuk investasi yang produktif
saja, tetapi juga untuk keperluan yang non produktif, seperti untuk conspicus consumption (konsumsi barang
mewah, yang hanya berguna untuk simbol status sosial), pengeluaran yang tidak
bermanfaat, termasuk juga untuk keperluan spekulasi. Hal inilah yang akan
menyebabkan terjadinya ekspansi money
demand yang cepat, hanya untuk keperluan konsumsi yang non-produktif dan
tidak bermanfaat (Siregar, 2001)
4.
Menghambat Tingkat Produktivitas
Masyarakat
Zuhaili
menegaskan bahwa riba dapat membiasakan manusia untuk mencari rezeki tanpa
bekerja, seperti perdagangan, pertanian, atau mata pencaharian lainnya. Sesungguhnya
para pelaku riba menyandarkan hidupnya dan pemasukannya dari sumber pendapatan
yang tidak membutuhkan kerja keras, yakni hanya menunggu bunga dari uang yang
disimpannyadi perbankan.
Di
lain sisi, para pengusaha kecil yang membutuhkan modal usaha merasa terbebani
dengan beban bunga yang harus mereka bayar jika mengambil pinjaman. Akibatnya
sebagian dari mereka menahan diri untuk mengembangkan usahanya sedikit demi
sedikit dan sebagian yang lain terpaksa harus mengambilnya dengan risiko
berkurangnya keuntungan atau semakin tercekik tatkala usaha yang digelutinya
merugi. Kedua hal ini tentunya dapat menghambat tingkat produktivitas
masyrakat. Monopoli sumber dana dan misalokasi dana juga dapat menghambat
tingkat produktivitas.
5.
Kesenjangan yang makin melebar antara
orang kaya dan miskin.
Eksploitasi
dan monopoli sumber dana telah mengakibatkan orang kaya dan orang miskin
semakin miskin.
6.
Mendorong inflasi
Selama
ini bunga diyakini sebagai alat yang efektif untuk mengendalikan inflasi.Tatkala
inflasi meningkat, pemerintah akan mempergunakan kebijakan tight money policy, yakni dengan meningkatkan suku bunga guna
menyerap uang yang berlebih di masyrakat. Selain itu, pemerintah juga
memperketat belanja negara. Dengan demikian, inflasi dapat kembali dikendalikan.Beberapa
penelitian menunjukan bahwa suku bunga justru menjadi faktor utama yang
menyebabkan inflasi:
Setiawan
(2007) dalam penelitiannya yang berjudul” Analisis Faktor Dominan Penyebab
Inflasi di Indonesia dan Beberapa Penyelesaiannya menurut Ekonomi Islam”,
menguji hubungi antara variabel ekonomi yang diperkirakan berpengaruh terhadap
inflasi, yakni jumlah uang beredar (Ms), nilai tukar rupiah terhadap dolar,
harga minyak dunia, sertifikat bank Indonesia (SBI) dan suku bunga Federal
Reserve. Hasil pengujian menunjukan, equilibrium antar variabel tersebut dapat
terjadi dalam jangka panjang. Sedangkan sejak pertengahan periode hingga akhir,
pengaruh suku bunga, mekanisme profit and loss sharing, pelaksanaan fungsi
hibah dan penggunaan uang emas dan perak merupakan beberapa cara untuk
menyelesaikan permasalahan inflasi di Indonesia.
Rusdiana(2008)
meneliti faktor-faktor yang menjadi determinan inflasi di Indonesia menggunakan
metode Vector Error Correction Model
(VECM). Hasil pengujian menunjukan bahwa suku bunga berpengaruh positif dan
menjadi kontributor inflasi paling dominan dibanding dengan variabel lain, baik
dalam model Islam (13%) maupun dalam model mixed (39%). Oleh karena itu, ia
menyarankan pengkajian kembali keberadaan institusi bunga di dalam
perekonomian, apakah bermanfaat bagi kestabilan moneter Indonesia atau malah
sebaliknya. Apakah bermanfaat sebagai obat penyembuh ampuh, ataukah malah
menjadi virus potensial yang dapat menyebabkan ‘sakit moneter’ yang lebih akut.
Adiwarman
Karim mengungkapkan bahwa instrumen bunga dapat meningkatkan costof production. Bunga merupakan fixed
cost yang harus dibayar oleh perusahaan. Akibatnya, biaya meningkat dan mendorong perusahaan utnuk menaikkan
harga penjualan, sehingga sedikit banyaknya turut mempengaruhi inflasi. Inilah
yang disebut dengan cost push inflation. Secara
sederhana cost push inflation
tersebut dapat dijelaskan dalam kurva sebagai berikut.
Gambar
1 : Cost Push Inflation yang diakibatkan oleh Bunga
BEP seat fixed cost tanpa bunga
|
|
Total
Revenue
TCi
(Total Cost + Biaya Bunga)
BEP seat fixed cost plus bunga + 17: M17
|
|
TC ( Total Cost tanpa
Biaya Bunga)
Fci
(Fixed Cost + Biaya Bunga)
FC
(Fixed Cost tanpa Biaya Bunga)
Q
Qi Q
Dengan
adanya beban bunga yang harus dibayar produsen, maka fixed cost (biaya tetap) produsen naik, yang pada gilirannya juga
meningkatkan biaya total dari TC ke Tci. Naiknya total cost akan mendorong Break Even Point dari titik Q ke Qi.
Dengan menggunakan sistem bagi hasil hal ini tidak terjadi.
Jelaslah
bahwa tingkat bunga sedikit banyaknya berpengaruh terhadap tingkat inflasi.
Meski demikian, masih dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut untuk memperkuat
pendapat ini dan mengkaji tingkat signifikansi pengaruhnya di negara-negara
lainnya (selain Indonesia).
7.
Decoupling
antar sektor riil dan moneter
Sistem
bunga telah mendorong para pemilik modal untuk lebih memilih menyimpan dananya
di perbankan, pasar modal dan perdagangan surat-berharga baik milik negara
maupun swasta (mis-alokasi dana). Akibatnya, uang yang beredar di masyarakat
semakin sedikit. Uang yang seharusnya dapt mengembangkan sektor riil justru
terserap di sektro moneter. Peter drucker menyebut gejala ketidakseimbangan antara
arus moneter dan arus barang/jasa sebagai decoupling, yakni fenomena
keterputusan antara maraknya arus uang (moneter) dengan arus barang dan jasa.
Sekedar
ilustrasi dari fenomena decoupling tersebut, misalnya sebelum krisis moneter
Asia, dalam satu hari, dana yang beredar dalam transaksi maya di pasar modal
dan pasar uang dunia, diperkirakan rata-rata sekitar 2-3 triliun dolar AS atau
dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS. Padahal arus perdagangan barang
secara internasional dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS.
Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Didin S
Damanhuri, Problem Utang dalam Hegemoni Ekonomi).
Perkembangan
dan pertumbuhan finansial di dunia saat ini, sangat tidak seimbang dengan pertumbuhan
sektor riil. Realitas ketidakseimbangan arus moneter dan arus barang jasa
tersebut, mencemaskan dan mengancam ekonomi berbagai negara. Fenomena
ketidakseimbangan itu dipicu oleh maraknya bisnis spekulasi ( terutama di dunia
pasar modal, pasar valas dan properti), sehingga potret ekonomi dunia seperti
balon saja (bubble economy). Disebut ekonomi balon karena secara lahir tampak
besar, tetapi tidak berisi apa-apa kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata ia
kosong. Jadi, bubble economy adalah sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan
kouantitas moneternya, namun tak diimbangi oleh sektor riil.
Akibat
pemisahan itu, ekonomi dunia rawan krisis, khususnya negara-negara berkembang
(terparah Indonesia). Sebab, pelaku ekonomi tidak lagi menggunakan uang untuk
kepentingan sektor riil, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang.
Spekulasi inilah yang dapat menggoncang ekonomi berbagai negara, khususnya
negara yang kondisi politiknya tidak
stabil. Akibat spekulasi itu, jumlah uang yang beredar sangta tidak seimbang
jumlah barang di sektor riil.
Ali
Sakti menjelaskan bahwa munculnya dikotomi antara sektor riil dan moneter
merupakan imbas dari bunga, yakni menjadikan bunga sebagai harga uang atau
dengan kata lain menjadikan uang sebagai komoditi.
8.
Instabilitas Perekonomian
Ujung
dari semua akibat diatas adalah menyebabkan ketidakstabilan perekonomian. Hal
ini terbukti dengan banyak krisis yang melanda dunia pada abad 20 dan 21.
Krisis keuangan yang berlangsung pada saat ini bukanlah peristiwa yang pertama
kali. Roy Davies dan Glyn Davies (1996) dalam buku The History of Money From Ancient Time to the Present Day,
menguraikan bahwa sepanjang abad 20 telah terjadi 20 kali krisis besar yang
melanda banyak negara. Fakta ini menunjukan bahwa secara rata-rata, setiap 5
tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan
juta umat manusia.
Pada
tahun1907, New York mengalami krisis perbankan internasional, padahal beberapa
dekade sebelumnya yakni mulai tahun 1860-1921 terjadi peningkatan hebat jumlah
bank di Amerika sampai dengan 19 kali lipat. Tahun1920, Jepang mengalami
depresi ekonomi. Selanjtnyapada tahun 1922-1923 Jerman mengalami hyper
inflation. Karena takut mata uang menurun nilainya, gaji dibayar sampai dua
kali dalam sehari. Kemudian, pada tahun 1927 krisis keuangan melanda Jepang (37
Bank tutup); akibat krisis yang terjadi pada bank-bank Taiwan.
Krisis
yang paling kita rasakan adalah krisis moneter pada tahun 1998 yang melanda
negar-negar Asia, terparah Indonesia. Pada saat ini, satu dekade setelahnya,
dunia kembali dilanda financial crisis yang berawal dari aksi spekulasi jual
beli sertifikat utang subprime mortgage. Imbasnya, dunia mengalami resesi;
jutaan pekerja di PHK, ratusan perusahaan merugi dan gulung tikar.
Fenomena
di atas menunjukan bahwa selama ini dunia tidak pernah sepi dari krisis. Ada
sebuah permasalahan serius pada sistem keuangan yang dianut oleh para ekonom
saat ini.
C.
Pinjaman
Konsumsi dan Pinjaman Produksi.
Argumen
yang menyatakan bahwa bunga dilarang karena pada zaman Rasulullah saw, hanya
ada pinjaman konsumsi dan bunga yang disertakan dalam pinjaman demikian
menyebabkan kesulitan, adalah tidak benar dan bertentangan dengan fakta. Pada
masa periode Rasulullah saw, masyarakat muslim telah terbiasadengan gaya hidup
sederhana dan tidak melakukan praktik konsumsi mencolok. Karena itu, tak ada
alasan meminjam dana untuk tujuan-tujuan pamer diri atau keperluan konsumsi
yang tidak penting. Begitu juga, masyarakat telah terorganisasi dengan baik
dalam memenuhi kebutuhan pokok si miskin dan mereka yang mengalami kesulitan
karena bencana alam. Kalaupun diasumsikan bahwa sekalipun gaya hidup mereka
sederhana dan terdapat komitmen sosio-politik masyarakat muslim kepada
pemenuhan kebutuhan pokok bagi mereka yang kesulitan, praktik pinjaman ini
pasti sangat terbatas pada kalangan tertentu dan jumlahnya pun sedikit,
sehingga dapat dipenuhi lewat qardhul hasan. Karena itulah, seorang ulama
besar, almarhum Syekh Abu Zahrah, secara tepat menegaskan.
“Sama
sekali tak ada bukti yang mendukung pendapat bahwa riba jahiliyah adalah untuk
pinjaman konsumtif dan bukan produktif. Sebenarnya, jenis pinjaman yang
ditentukan oleh para ulama dan yang didukung oleh data sejarah adalah pinjaman
produktif . Keadaan-keadaan bangsa Arab, posisi Mekah, dan perniagaan
orang-orang Quraisy, semuanya mendukung pendapat bahwa pada jaman itu adalah
untuk tujuan-tujuan produksi dan bukan konsumsi.
Karena
itu, ayat Al-Quran yang menentukan penghapusan pokok (modal) pada saat peminjam
mengalami kesulitan, tidak mengacu kepada pinjaman konsumsi. Hal demikian
mengacu kepada pinjaman bisnis berdasarkan bunga di mana peminjam mengalami
kerugian dan tidak dapat membayar kembali, bahkan pokonya sekalipun, apalagi
bunganya.
Dengan
demikian, keseluruhan argumen yang menyatakan bahwa bunga menimbulkan kesulitan
hanya bagi orang yang berutang untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, adalah tidak
berdasar. Justru kewajiban masyarakat muslimlah untuk memenuhi kebutuhan
orang-orang miskin. Berutang untuk tujuan-tujuan konsumsi yang lain perlu
dikontrol dan diorganisasikan, seperti yang diindikasikan dalam buku ini.
Karena itu, pada umumnya, utang dalam sebuah masyarakat muslim adalah untuk
tujuan bisnis.
Hanya
dalam konteks inilah orang dapat memahami argumen jahiliah bahwa jual beli itu
seperti bunga dan perbedaan yang digambarkan oleh Al-Quran antara jual beli,
seorang pengusaha mempunyai prospek mendapatkan keuntungan, namun dia juga
menghadapi risiko kerugian. Sangat berbeda dengan ini, bunga ditentukan di
depan secara positif dengan mengabaikan hasil akhir usaha bisnis, yang mungkin
untung atau rugi bergantung pada faktor-faktor di luar kontrol pengusaha. Imam
ar-Razi sendiri mengajukan persoalan serupa tentang apa yang salah dalam
menetapkan bunga ketika peminjam akan mempergunakan dana pinjaman dalam usaha bisnisnya dan memperoleh
keuntungan. Jawabannya terhadap pertanyaan ini adalah, “Memperoleh keuntungan
dalam suatu usaha bersifat tidak pasti, sedangkan pembayaran bunga ditentukan
di depan dan bersifat pasti. Keuntungan belum tentu dapat diraih. Karena itu,
tidak diragukan lagi bahwa pembayaran sesuatu yang pasti untuk sesuatu yang
belum pasti akan menimbulkan bahaya.
Karena
itu, sebenarnya, riba bertentangan dengan penekanan dan penegasan Islam pada
keadilan sosioekonomi. Para pemberi pinjaman yang tidak terlibat dengan risiko,
hanya menerima pokok, tidak lebih dari itu. Mereka yang nekat tetap
menetapkan riba meskipun sudah dilarang,
berarti—menurut Al-Qur’an—menyatakan perang dengan Allah dan Rasul-Nya.
Pada
waktu menunaikan Haji Wada’, Rasulullah saw, mengumumkan penghapusan bunga,
mengumumkan penghapusan bunga yang terkumpul milik pamannya, Abbas bin Abdul
Muthalib. Ini adalah bunga pinjaman untuk tujuan bisnis yang diberikan kepada
suku Bani Tsaqif. Kabilah ini tidak meminjam dana dari Abbas dan lainnya untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi, melainkan untuk memperluas usaha bisnis mereka.
Ini bukanlah suatu kasus terpisah, tetapi suatu bentuk pembiayaan bisnis yang
berlaku pada saat itu. Beberapa kabila yang memiliki keahlian berdagang,
bertindak seperti kemitraan besar, mereka
meminjam dana dari anggota-anggota kabilahnya sendiri atau dari
kabilah-kabilah yang bersahabat, untuk menjalankan bisnis skala besar yang
sumber-sumber daya mereka sendiri tidak mengizinkan. Hal ini disebabkan karena
mereka tidak dapat melakukan terlalu banyak perjalanan bisnis ke luar negeri dari timur ke barat.
Sarana komunikasi yang lamban, sulitnya medan perjalanan, dan kerasnya iklim
membatasi mereka hanya dua perjalanan niaga. Karena itu, mereka mengumpulkan semua biaya yang dapat diusahakan untuk membeli
produk-produk lokal dan kemudian menjualnya ke luar negeri, lalu membawa
kembali apa saja yang diperlukan untuk memenuhi semua kebutuhan masyarakat
mereka bagi barang-barang impor dalam suatu periode tertentu. Mayoritas
transaksi berbasis bunga yang disebutkan dalam tafsir-tafsir klasik yang
berkaitan dengan larangan riba adalah pinjaman yang dilakukan oleh kabilah dari
kabilah lain, setiap kabilah bertindak seperti perusahaan kemitraan besar.
Islam menghapuskan hakikat hubungan berbasis bunga ini, tetapi
mereorganisasikan kembali atas dasar prinsip bagi hasil. Penyedia modal
mempunyai saham yang adil, sedangkan pelaku bisnis tidak dihadapkan pada
kondisi burukl, salah satunya adalah penghadangan terhadap kafilah di tengah
perjalanan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Faizin, Abdul Wahid dkk, Tafsir Ekonomi Kontemporer, Jakarta:
Madani Publishing House, 2010.
DR Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2007
DR. M UMER CHAPRA, Sistem Moneter
Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2000
Sofhian,
Sofhian. "SISTEM MONETER ISLAM (Larangan terhadap Praktek Ribawi)." AL-Buhuts 10.1 (2014): 155-180.